Kemajukan masyarakat Indonesia meliputi keragaman budaya horisontal, tetapi juga berlapis-lapis secara vertikal. Setidaknya tercatat 300 bahasa yang digunakan pada kelompok-kelompok masyarakat. Hal tersebut belum termasuk berbagai variasi bahasa dalam setiap daerah. Jika keragaman kebahasaan menjadi alat untuk mengidentifikasi kesukubangsaan dan kebudayaannya, minimal sebanyak itu pulalah jumlah suku bangsa di Indonesia.
Keragaman tersebut merupakan potensi bagi pengembangan budaya nasional yang memiliki keunikan dan sekaligus menyiratkan kekhasan masing-masing budaya di setiap daerah. Akan tetapi, di sisi lain, orang dihadapkan pada berbagai ancaman, seperti per golak an, pertentangan etnik, pluralisme budaya, atau dominasi budaya.
Bagi masyarakat Indonesia, perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial merupakan keniscayaan. Keragaman tersebut menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang menyilang. Keberagaman yang saling menyilang itu dalam ilmu antropologi dikenal dengan istilah cross cutting affiliation.
Bentuk hubungan yang demikian telah menyebabkan konflikkonflik antargolongan tidak bersifat terlalu tajam. Misalnya, konflik antarsuku dapat segera diatasi dengan bertemunya berbagai elemen yang terdiri atas latar belakang agama, daerah, pelapisan sosial, serta para anggota suku-suku bangsa yang terlibat dalam per tentang an tersebut.
Suatu cross cutting affiliation, biasanya akan menghasilkan cross cutting loyalities. Pengertian cross cutting loyalities adalah terbentuknya loyalitas pada hubungan silang budaya yang sudah terbentuk. Oleh karena itu, sampai pada suatu tingkat tertentu, masyarakat Indonesia telah terintegrasi meskipun tumbuhnya perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial. Toleransi dan empati akan membawa pemahaman mengenai berbagai perbedaan yang menjadi sumber daya yang tak ternilai. Menurut sebuah pepatah
“perbedaan itu adalah anugerah.” Melalui perbedaan, seseorang dapat belajar berbagai hal dari orang lain. Melalui perbedaan pula seseorang terlatih untuk merasakan beban sebagaimana yang orang lain rasakan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan setelah orang memahami lebih dalam pengertian toleransi dan empati.
Secara sederhana toleransi dapat diasah dengan memahami berbagai perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi budaya terhadap suatu hal, jika tidak disikapi dengan bijaksana, dapat berbuah perselisihan. Perselisihan cenderung membagi kedua belah pihak dalam dua kutub yang berseberangan. Bahkan, secara ekstrem hubungan dapat meruncing sebagai kawan dan lawan. Tingkat toleransi menentukan tingkat penerimaan seseorang terhadap perbedaan dan perselisihan yang mungkin muncul.
Pengertian empati dapat dianggap sebagai kelanjutan dari toleransi. Empati dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain oleh seorang individu atau suatu kelompok masyarakat. Budaya orang lain menjadi landasan bersikap dalam setiap interaksi yang terjalin. Empati berpotensi untuk mengubah perbedaan menjadi saling memahami dan mengerti secara mendalam.
Sikap toleransi dan empati dapat diwujudkan dengan memahami bahwa keanekaragaman budaya membutuhkan penguatan budaya lokal di tengah budaya lain yang sama-sama bertahan. Keanekaragaman budaya telah menjadi kenyataan sejarah yang tidak mungkin dihindari. Mengabaikan keragaman sama halnya dengan mengingkari hakikat manusia itu sendiri. Akan tetapi seringkali keragaman dalam suku, ras, dan budaya menjadi sumber konflik dan ketegangan di antara suku, ras, dan agama. Bahkan, beberapa suku bangsa memandang suku bangsa lain lebih rendah dari suku bangsanya sendiri (ethnocentrism). Di sinilah sikap toleransi dan empati diperlukan untuk memberi kesempatan perbedaan menjadi tumbuh dan berkembang dalam kebebasan yang setara.
Toleransi dan empati secara eksplisit dapat diterapkan melalui pemahaman multibudaya. Pemahaman ini menekankan pentingnya pengertian dalam hal pluralitas dan pluralisme sosial, keragaman budaya, etnik, dan pemahaman kontekstual. Pengejawantahan pemahaman sosiologis-antropologis sebagai dasar mengkaji berbagai hasil karya budaya dan pengalaman budaya dari pembuat atau penciptanya. Lebih jelasnya dapat berbentuk pemusatan perhatian yang lebih seimbang (proporsional) terhadap pengetahuan pembuat atau pencipta seni sama baiknya dengan pemahaman terhadap konteks sosio-budayanya. Oleh karena itu, proses pembelajaran sebaiknya dipandang sebagai bagian intervensi sosial dan budaya. Dengan demikian tidak perlu terjadi pendapat mengenai pertentangan, tetapi setiap orang hendaknya menyadari bias sosial budaya yang melekat pada dirinya.
No comments:
Post a Comment