Monday, February 11, 2013

APA YANG MEMBUAT KELOMPOK KERJA BERJALAN?


Mengapa para siswa yang bekerja di dalam kelompok kooperatif bisa belajar lebih banyak daripada mereka yang diatur dalam kelas-kelas tradisional? Penelitian yang menyelidiki mengenai pertanyaan ini telah mengungkapkan varisasi yang sangat banyak dari model-model teorelis yang dapat menjelaskan keunggulan pembelajaran kooperatif (lihat Slavin, 1992, 1993). Teori-teori terse- But terbagi menjadi dua kategori utama, motivasi dan kognitif

TEORI MOTIVASI

Perspektif motivasional pada pembelajaran kooperatif terufama memfukuskan pada penghargaan atau srruktur tujuan di mana para siswa bekerja (lihat Slavin, 1993). Deutsch (1949) mengidentifikasikan tiga srruktur tujuan: koperatif di mana usaha-berorientasi-tujuan dari tiap individu memberi konhibusi pada pencapaian tujuan anggota yang lain; kompetitif di mana usaha- berorientasi-tujuan dari tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya; dan individualistik di- mana usaha-ber orientasi-tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsekuensi apa pun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya. Dari perspektif motivasional (seperti yang dikemukakan johnson dkk., 1981, dan Slavin, 1983a), struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana satu usahmya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka hisa sukses. Oleh karena itu, untuk meraih tujuan personal mereka, anggota kelompok harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa pun guna membuat kelompok mereka berhasil, dan mungkin yang lebih penting, mendorong anggota satu kelompoknya untuk melakukan usaha maksimal. Dengan kata Iain, penghargaan kelompok yang didasarkan pada kinerja kelompok (atau penjumlahan dari kinerja individual) menciptakan struktur penghargaan  interpersonal di mana anggota kelompok akan memberikan atau  menghalangi pemicu - pemicu  sosial (seperti pujian dan dorongan) dalam merespons usaha - usaha yang berhubungan dengan tugas kelompok (lihat Slavin, 1983a).

Kritik terhadap pengaturan kelas tradisional yang diberikan oleh para pencetus teori motivasional adalah bahwa penilaian yang kompetitif dan sistem penghargaan informal di kelas men- cipiakan norma~norma di antara mereka yang berlawanan dengan usaha usaha akademik (Lihat Coleman, 1961). Karena kesuksesan Salah satu siswa menurunkan kesempatan untuk sukses bagi yang lainnya, para siswa lebih suka mengekspresikan norma- norma bahwa pencapaian yang tinggi hanyalah untuk "orang- orang aneh” dan kesayangan guru. Notmamorma penghalang seperti ini sering ditemukan dalam dunia inclustri, di mana "si pembuat onar" dicemooh oleh rekan kerjanya (Vroom, 1969). Akan tetapi ketika para siswa bekerja sama untuk mencapai tu- juan yang sama, seperti yang mereka lakukan ketika struktur penghargaan kooperatif diterapkan, mereka belajar tentang usaha yang dapat membantu keberhasilan teman satu kelompoknya. Oleh sebab itu, para siswa saling mendorong pembelajaran satu sama lain, mendorong usaha akademis satu sama lain, dan meng- ekspresikan norma norma yang sesuai dengan pencapaian akademik.

  
Beberapa kajian telah menemukan bahwa ketika para siswa bekerja bersama-sama untuk meraih sebuah mjuan kelompok, membuat mereka mengekspresikan norma-norma yang baik dalam melakukan apa pun yang diperlukan untuk  keberhasilan kelumpok (Deutsch, 1949; Thomas, 1957). Di dalam kelas yang kooperatif murid yang bemsaha keras, selalu hadir di kelas, dan membantu yang lainnya belajar akan dipuji dan didukung oleh teman satu timnnya, ini bertolak belakang dengan situasi di dalam kelas tradisional. Sebagai contoh, Hulten dan DeVries (19760, Madden dan Slavin (1983a), dan Slavin (1978b) semuanya menemukan bahwa para siswa di dalam kelas-kelas pembelajaran kooperatif merasa bahwa teman sekelas mereka ingin agar mereka belajar. Dalam kelompok kooperatif, pembelajaran menjadi sebuah akdvitas yang bisa membuat para siswa lebih unggul di antara teman-  teman sebayanya. Slavin (1975) dan Slavin, DeVries, dan Hulten (1975) menemukan bahwa para siswa dalam kelompok kooperatif yang berhasl meraih prestasi membuktikan status sosial mereka di dalam kelas, sedangkan di dalam kelas-kelas tradisional siswa  siswa seperti ini kehilangan status. Perubahan ini akan sangat penting artinya dalam konsekuensi sosial kesuksesan akademis. Coleman (1961) menemukan bahwa siswa yang cerdas di sekolah menengah di mana pencapaian prestasi akademik membantu seorang siswa untuk bisa diterima oleh "kelompok penentu” mengubah usaha mereka cenderung mengarah pada Pembelajaran dari pada siswa cerdas di sekolah di mana bidang atletik dan pencapaian sosial lebih diutamakan. Brookover, Beady, Flood, Schweitze, Wisenbaken (1979) menemukan bahwa dukungan siswa untuk tujuan akademik merupakan penenhl pencapaian mereka (mengendalikan kemampuan dan kelas sosial).


jelasnya, tujuan kooperatif mencipakan norma-norma yang pro-akademik di antara para siswa, dan norma - norma pro-akademik memiliki pengaruh yang amat penting bagi pencapaian siswa

TEORI KOGNITIF

Sernentara teori motivasi dalarn pembelajran kooperatif menekankan pada derajat perubahan tujuan kooperatif méngubah insentif bagi siswa untuk melakukan tugasftugas akadefnik, teori kognitif menekankan pada pengaruh dari kerja sama itu sendiri (apakah kelompok tersehut mencoba meraih tujuan kelompok ataupun tidak). Ada beberapa teori kognitif yang berbéda, yang terbagi menjadi dua kategori utama: teori pembanghunan dan teori elaborasi kognitif.

 Teori Pembangunan. Asumsi dasar dari teori pembangunan adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan turas-tugas yang sesuai meningkalkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik (Damon, 1984; Murray, 1982). Vygotsky (1978, hlm. 86) mendeflnikan wilayah pembangunan paling dekat sebagai "jarak antara level pembangunan aktual seperti yang diientukan oleh penyelesaian masalah secara independen dan level pembangunan potensial seperti yang ditentukan melalui penyelesaian masalah dengan bantuan dari orang dewasa ntnu dalam kolaborasi dengan teman yang lebih mampu” (penekanan ditambahkan). Dalam pandangannya, kegiatan kolaboratif di antara anak-anak mendo- rong pertumbuhan karena anak-anak yang usianya sebaya lebih suka bekerja di dalam wilayah pembangunan paling dekat sqgpa satu sama lain, perilaku yang diperlihatkan di dalam kelompok kolaborasi lebih berkembang daripada yang dapat mereka tunjuk- kan sebagai individu. Vygotsky (1978, hlm. 47) menggambarkaq pengaruh kegiatan kolaboratif pada pembelajaran sebagai berikut: ”Fungsi-fungsi pertama kali terbentuk secara kolektif di dalam bentuk hubungan di antara anak-anak dan kemudian menjadii fungsi-fungsi mental bagi masing-masing individu .... Penelitian membukiikan bahwa pemikiran muncul dari argumen.”  

Dengan nada serupa, Piaget (1926) mengatakan bahwa pengetahuan tentang perangkat sosial-bahasa, nilai-nilai, peraturan, moralitas,   sistem simbol (seperti membaca dan matematika) hanya dgpat dipelajari dalam interaksi dengan orang lain. Penelitian d; dalam tradisi penganut paham Piaget telah difokuskan pada konservasi ( kekekalan ), kemampuan untuk mengenali bahwa karak teristik tertentu dari tiap objek akan tetap sama jika yang lainnya berubah. Sebagai oontoh, anak yang be1u.m belajar tentang prinsip- Rrnjusip kekekalan akan melihat orang yang melakukan percobaan menuangkan cairan dari sebuah wadah yang lebar ke dalam wadah lain yang lebih sempit dan tinggi, akan mengalakan bahwav wadah yang tinggi itu memuat lebih banyak cairan, atau akan percaya bahwa_sébuah bola dari tanah liat beratnya akan berbedé jika di pipihkan, Kebanyakan anak memperoleh prinsip-prinsip koriser- vasi pada umur sekitar 5 sampai 7 tahun. 


Terdapat dukungan yang besar terhadap gagasan bahwa interaksi diantara teman sebaya dapat membantu anak-anak yang nonconserver (tidak mampu melihat kekekalan) menjadi conservers (mampu melihat kekekalan). Banyak studi yang telah menunjukkan bahwa ketika conserver dan non conserver yang usianya sebaya bekerja secara kolaboratif mengerjakan tugas-tugas yang menuntut kemampuan konservasi, anak-anak yang non konserver umumnya dapat membangkan dan menjaga konsep-konsep konservasi (Bell, Grisen, dan Perret-Clermont, 1985; Murray 1982 _ Perret Clermont  1980). Sebetulnya beberapa studi (misalnya oleh Ames dan Murray, 1982; Mugny dan Doise, 1978) telah menemukan bahwa kedua anggota pasangan non conversers yang tidak bersepakat yang harus sampai pada kesepakatan mengenai masalah konservasi justru telah sampai pada sebuah korsep konservasi. Pentingnya mereka untuk bisa saling bekerja sama di dalam wilayah pembangunan paling dekat telah digambarkan oleh Kuhn (1972), yang menemu- kan bahwa perbedaan kecil dalam level kognitif antara seorang anak dan seorang model sosial adalah lebih konduktif terhadap pertumbuhan kognitif dari pada perbedaan besar.


Berdasarkan hal ini, dan penemuan lainnya, banyak penganut paham Piaget (seperti Damon, 1984; Murray, 1982; Wadsworth, 1984) rnenyerukan untuk meningkatkan penggunaan aktivitas kooperatif di sekolah. Mereka beralasan bahwa interaksi di antara Siswa dalam tugas-tugas pembelajaran akan terjadi dengan sendirinya untuk mengembangkan pencapaian prestasi siswa. Para siswa akan saling belajar satu sama lain karena dalam diskusi mereka mengenai konten materi, konflik kognitif akan timbul, alasan yang kurang pas juga akan keluar, dan pemahaman dengan kualitas yang lebih tinggi akan muncul.

  
Teori Elaborasi Kognitif. Apa yang akan kita sebut sebagai perspektif elaborasi kognitif di sini agak berbeda dengan perspek- tif elaborasi dari sudut pandang pembangunan. Penelitian dalam bidang psikologi kognitif telah menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi, dari materi (Wittock, 1987). Sebagai contoh, menulis rangkuman atau ringkasan dari pelajaran yang disampaikan adalah pelajaran tambahan yang lebih baik dari pada sekadar menyalin catatan, karena rangkuman atau ringkasan menuntut para siswa untuk mengatur kembali materinya dan memilih bagian yang penting dari pelajaran tersebut (Brown, Bransford, Ferrara, dan Campione, 1983; Hidi dan Anderson, 1986).


Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain. Penelitian terhadap pengajaran oleh teman telah lama menemukan adanya keuntungan pencapaian yang diterirna oleh pengajar maupun yang diajar (Devin-Sheehan, Feldman, dan Allen, 1976). Baru-baru ini, Donald Darsereau dan rekan-rekannya telah menemukan melalui serangkaian studi bahwa para mahasiswa yang bekerja dalam struktur "rancangan kooperatif” dapat mempelajari materi teknis atau prosedur dengan jauh lebih baik daripada apabila mereka bekerja sendiri-sendiri.  (Dansereau, 1985). Dalam metode ini, para siswa tersebut meng ambil peran sebagai pembaca dan pendengar. Mereka membaca satu bagian dari teks, dan kemudian pembaca merangkum infor- rnasinya sementara pendengar mengoreksi kesalahan, mengisi materi yang hilang, dan memikirkan cara bagaimana kedua siswa dapat mengingat gagasan utamanya. Pada bagan teks berikutnya para siswa bertukar peran. Dansereau (1988) telah menemukan bahwa pada saat pembaca maupun pendengar hisa belajar lebih banyak daripada jika memka belajar sendiri, si pembaca telah belajar lebih banyak. Ini memperlihatkan terjadinya penemuan peer-tutoring (pengajaran antarteman) dan juga penemuan Noreen Webb (1985), yang menemukan bahwa para siswa yang paling banyak men- dapatkan keuntungan dari kegiatan kooperatif adalah mereka yang memberlkan penjelasan elaborasi kepada teman yang lain. Dalam penelitian ini, seperti juga pada penelitian Dansereau, para siswa yang menerima penjelasan elaborasi belajar lebih banyak dari mereka yang belajar sendiri, tetapi tidak sebanyak siswa yang berperan sebagai pemberi penjelasan.







No comments:

Post a Comment