Mengapa para
siswa yang bekerja di dalam kelompok kooperatif bisa belajar lebih banyak
daripada mereka yang diatur dalam kelas-kelas tradisional? Penelitian yang
menyelidiki mengenai pertanyaan ini telah mengungkapkan varisasi yang sangat
banyak dari model-model teorelis yang dapat menjelaskan keunggulan pembelajaran
kooperatif (lihat Slavin, 1992, 1993). Teori-teori terse- But terbagi menjadi
dua kategori utama, motivasi dan kognitif
TEORI MOTIVASI
Perspektif
motivasional pada pembelajaran kooperatif terufama memfukuskan pada penghargaan
atau srruktur tujuan di mana para siswa bekerja (lihat Slavin, 1993). Deutsch
(1949) mengidentifikasikan tiga srruktur tujuan: koperatif di mana
usaha-berorientasi-tujuan dari tiap individu memberi konhibusi pada pencapaian
tujuan anggota yang lain; kompetitif di mana usaha- berorientasi-tujuan dari
tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya; dan
individualistik di- mana usaha-ber orientasi-tujuan dari tiap individu tidak
memiliki konsekuensi apa pun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya. Dari
perspektif motivasional (seperti yang dikemukakan johnson dkk., 1981, dan
Slavin, 1983a), struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana
satu usahmya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah
jika kelompok mereka hisa sukses. Oleh karena itu, untuk meraih tujuan personal
mereka, anggota kelompok harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa
pun guna membuat kelompok mereka berhasil, dan mungkin yang lebih penting,
mendorong anggota satu kelompoknya untuk melakukan usaha maksimal. Dengan kata
Iain, penghargaan kelompok yang didasarkan pada kinerja kelompok (atau
penjumlahan dari kinerja individual) menciptakan struktur penghargaan interpersonal di mana anggota kelompok akan
memberikan atau menghalangi pemicu -
pemicu sosial (seperti pujian dan
dorongan) dalam merespons usaha - usaha yang berhubungan dengan tugas kelompok
(lihat Slavin, 1983a).
Kritik
terhadap pengaturan kelas tradisional yang diberikan oleh para pencetus teori
motivasional adalah bahwa penilaian yang kompetitif dan sistem penghargaan
informal di kelas men- cipiakan norma~norma di antara mereka yang berlawanan
dengan usaha usaha akademik (Lihat Coleman, 1961). Karena kesuksesan Salah satu
siswa menurunkan kesempatan untuk sukses bagi yang lainnya, para siswa lebih
suka mengekspresikan norma- norma bahwa pencapaian yang tinggi hanyalah untuk
"orang- orang aneh” dan kesayangan guru. Notmamorma penghalang seperti ini
sering ditemukan dalam dunia inclustri, di mana "si pembuat onar"
dicemooh oleh rekan kerjanya (Vroom, 1969). Akan tetapi ketika para siswa
bekerja sama untuk mencapai tu- juan yang sama, seperti yang mereka lakukan
ketika struktur penghargaan kooperatif diterapkan, mereka belajar tentang usaha
yang dapat membantu keberhasilan teman satu kelompoknya. Oleh sebab itu, para
siswa saling mendorong pembelajaran satu sama lain, mendorong usaha akademis
satu sama lain, dan meng- ekspresikan norma norma yang sesuai dengan pencapaian
akademik.
Beberapa
kajian telah menemukan bahwa ketika para siswa bekerja bersama-sama untuk
meraih sebuah mjuan kelompok, membuat mereka mengekspresikan norma-norma yang
baik dalam melakukan apa pun yang diperlukan untuk keberhasilan kelumpok (Deutsch, 1949; Thomas,
1957). Di dalam kelas yang kooperatif murid yang bemsaha keras, selalu hadir di
kelas, dan membantu yang lainnya belajar akan dipuji dan didukung oleh teman
satu timnnya, ini bertolak belakang dengan situasi di dalam kelas tradisional.
Sebagai contoh, Hulten dan DeVries (19760, Madden dan Slavin (1983a), dan
Slavin (1978b) semuanya menemukan bahwa para siswa di dalam kelas-kelas
pembelajaran kooperatif merasa bahwa teman sekelas mereka ingin agar mereka
belajar. Dalam kelompok kooperatif, pembelajaran menjadi sebuah akdvitas yang
bisa membuat para siswa lebih unggul di antara teman- teman sebayanya. Slavin (1975) dan Slavin,
DeVries, dan Hulten (1975) menemukan bahwa para siswa dalam kelompok kooperatif
yang berhasl meraih prestasi membuktikan status sosial mereka di dalam kelas,
sedangkan di dalam kelas-kelas tradisional siswa siswa seperti ini kehilangan status.
Perubahan ini akan sangat penting artinya dalam konsekuensi sosial kesuksesan
akademis. Coleman (1961) menemukan bahwa siswa yang cerdas di sekolah menengah
di mana pencapaian prestasi akademik membantu seorang siswa untuk bisa diterima
oleh "kelompok penentu” mengubah usaha mereka cenderung mengarah pada
Pembelajaran dari pada siswa cerdas di sekolah di mana bidang atletik dan
pencapaian sosial lebih diutamakan. Brookover, Beady, Flood, Schweitze,
Wisenbaken (1979) menemukan bahwa dukungan siswa untuk tujuan akademik
merupakan penenhl pencapaian mereka (mengendalikan kemampuan dan kelas sosial).
jelasnya,
tujuan kooperatif mencipakan norma-norma yang pro-akademik di antara para
siswa, dan norma - norma pro-akademik memiliki pengaruh yang amat penting bagi
pencapaian siswa
TEORI KOGNITIF
Sernentara
teori motivasi dalarn pembelajran kooperatif menekankan pada derajat perubahan
tujuan kooperatif méngubah insentif bagi siswa untuk melakukan tugasftugas
akadefnik, teori kognitif menekankan pada pengaruh dari kerja sama itu sendiri
(apakah kelompok tersehut mencoba meraih tujuan kelompok ataupun tidak). Ada
beberapa teori kognitif yang berbéda, yang terbagi menjadi dua kategori utama:
teori pembanghunan dan teori elaborasi kognitif.
Teori
Pembangunan. Asumsi dasar dari teori pembangunan adalah bahwa interaksi di
antara para siswa berkaitan dengan turas-tugas yang sesuai meningkalkan
penguasaan mereka terhadap konsep kritik (Damon, 1984; Murray, 1982). Vygotsky
(1978, hlm. 86) mendeflnikan wilayah pembangunan paling dekat sebagai
"jarak antara level pembangunan aktual seperti yang diientukan oleh
penyelesaian masalah secara independen dan level pembangunan potensial seperti
yang ditentukan melalui penyelesaian masalah dengan bantuan dari orang dewasa
ntnu dalam kolaborasi dengan teman yang lebih mampu” (penekanan ditambahkan).
Dalam pandangannya, kegiatan kolaboratif di antara anak-anak mendo- rong pertumbuhan
karena anak-anak yang usianya sebaya lebih suka bekerja di dalam wilayah
pembangunan paling dekat sqgpa satu sama lain, perilaku yang diperlihatkan di
dalam kelompok kolaborasi lebih berkembang daripada yang dapat mereka tunjuk-
kan sebagai individu. Vygotsky (1978, hlm. 47) menggambarkaq pengaruh kegiatan
kolaboratif pada pembelajaran sebagai berikut: ”Fungsi-fungsi pertama kali
terbentuk secara kolektif di dalam bentuk hubungan di antara anak-anak dan
kemudian menjadii fungsi-fungsi mental bagi masing-masing individu ....
Penelitian membukiikan bahwa pemikiran muncul dari argumen.”
Dengan nada
serupa, Piaget (1926) mengatakan bahwa pengetahuan tentang perangkat
sosial-bahasa, nilai-nilai, peraturan, moralitas, sistem simbol (seperti membaca dan
matematika) hanya dgpat dipelajari dalam interaksi dengan orang lain.
Penelitian d; dalam tradisi penganut paham Piaget telah difokuskan pada
konservasi ( kekekalan ), kemampuan untuk mengenali bahwa karak teristik
tertentu dari tiap objek akan tetap sama jika yang lainnya berubah. Sebagai
oontoh, anak yang be1u.m belajar tentang prinsip- Rrnjusip kekekalan akan
melihat orang yang melakukan percobaan menuangkan cairan dari sebuah wadah yang
lebar ke dalam wadah lain yang lebih sempit dan tinggi, akan mengalakan bahwav
wadah yang tinggi itu memuat lebih banyak cairan, atau akan percaya bahwa_sébuah
bola dari tanah liat beratnya akan berbedé jika di pipihkan, Kebanyakan anak
memperoleh prinsip-prinsip koriser- vasi pada umur sekitar 5 sampai 7
tahun.
Terdapat
dukungan yang besar terhadap gagasan bahwa interaksi diantara teman sebaya
dapat membantu anak-anak yang nonconserver (tidak mampu melihat kekekalan)
menjadi conservers (mampu melihat kekekalan). Banyak studi yang telah
menunjukkan bahwa ketika conserver dan non conserver yang usianya sebaya
bekerja secara kolaboratif mengerjakan tugas-tugas yang menuntut kemampuan
konservasi, anak-anak yang non konserver umumnya dapat membangkan dan menjaga
konsep-konsep konservasi (Bell, Grisen, dan Perret-Clermont, 1985; Murray 1982
_ Perret Clermont 1980). Sebetulnya
beberapa studi (misalnya oleh Ames dan Murray, 1982; Mugny dan Doise, 1978)
telah menemukan bahwa kedua anggota pasangan non conversers yang tidak
bersepakat yang harus sampai pada kesepakatan mengenai masalah konservasi
justru telah sampai pada sebuah korsep konservasi. Pentingnya mereka untuk bisa
saling bekerja sama di dalam wilayah pembangunan paling dekat telah digambarkan
oleh Kuhn (1972), yang menemu- kan bahwa perbedaan kecil dalam level kognitif
antara seorang anak dan seorang model sosial adalah lebih konduktif terhadap
pertumbuhan kognitif dari pada perbedaan besar.
Berdasarkan
hal ini, dan penemuan lainnya, banyak penganut paham Piaget (seperti Damon,
1984; Murray, 1982; Wadsworth, 1984) rnenyerukan untuk meningkatkan penggunaan
aktivitas kooperatif di sekolah. Mereka beralasan bahwa interaksi di antara
Siswa dalam tugas-tugas pembelajaran akan terjadi dengan sendirinya untuk
mengembangkan pencapaian prestasi siswa. Para siswa akan saling belajar satu
sama lain karena dalam diskusi mereka mengenai konten materi, konflik kognitif
akan timbul, alasan yang kurang pas juga akan keluar, dan pemahaman dengan
kualitas yang lebih tinggi akan muncul.
Teori
Elaborasi Kognitif. Apa yang akan kita sebut sebagai perspektif elaborasi
kognitif di sini agak berbeda dengan perspek- tif elaborasi dari sudut pandang
pembangunan. Penelitian dalam bidang psikologi kognitif telah menemukan bahwa
jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan
informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat
dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi, dari materi
(Wittock, 1987). Sebagai contoh, menulis rangkuman atau ringkasan dari
pelajaran yang disampaikan adalah pelajaran tambahan yang lebih baik dari pada
sekadar menyalin catatan, karena rangkuman atau ringkasan menuntut para siswa
untuk mengatur kembali materinya dan memilih bagian yang penting dari pelajaran
tersebut (Brown, Bransford, Ferrara, dan Campione, 1983; Hidi dan Anderson,
1986).
Salah satu
cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang
lain. Penelitian terhadap pengajaran oleh teman telah lama menemukan adanya
keuntungan pencapaian yang diterirna oleh pengajar maupun yang diajar
(Devin-Sheehan, Feldman, dan Allen, 1976). Baru-baru ini, Donald Darsereau dan
rekan-rekannya telah menemukan melalui serangkaian studi bahwa para mahasiswa
yang bekerja dalam struktur "rancangan kooperatif” dapat mempelajari
materi teknis atau prosedur dengan jauh lebih baik daripada apabila mereka
bekerja sendiri-sendiri. (Dansereau,
1985). Dalam metode ini, para siswa tersebut meng ambil peran sebagai pembaca
dan pendengar. Mereka membaca satu bagian dari teks, dan kemudian pembaca
merangkum infor- rnasinya sementara pendengar mengoreksi kesalahan, mengisi
materi yang hilang, dan memikirkan cara bagaimana kedua siswa dapat mengingat
gagasan utamanya. Pada bagan teks berikutnya para siswa bertukar peran.
Dansereau (1988) telah menemukan bahwa pada saat pembaca maupun pendengar hisa
belajar lebih banyak daripada jika memka belajar sendiri, si pembaca telah
belajar lebih banyak. Ini memperlihatkan terjadinya penemuan peer-tutoring
(pengajaran antarteman) dan juga penemuan Noreen Webb (1985), yang menemukan
bahwa para siswa yang paling banyak men- dapatkan keuntungan dari kegiatan
kooperatif adalah mereka yang memberlkan penjelasan elaborasi kepada teman yang
lain. Dalam penelitian ini, seperti juga pada penelitian Dansereau, para siswa
yang menerima penjelasan elaborasi belajar lebih banyak dari mereka yang
belajar sendiri, tetapi tidak sebanyak siswa yang berperan sebagai pemberi
penjelasan.
Pembelajaran Kooperatif dan Pencapaian Prestasi Siswa <--sebelumnya
Lanjut baca --> POTENSI PENGHALANG PADA PEMBELAJARANKOOPERATIF
No comments:
Post a Comment