Prawacana
Pertama kali
mendengar atau melihat kata sejarah, maka yang terbayang dalam benak kita
adalah sesuatu yang telah berlalu. Sebut saja salah seorang sejarawan Amerika,
berujar bahwa sejarah itu sebagai suatu posisi atau cara pandang (Kuntowijoyo
2005:18). lbarat seorang penumpang kereta api, meskipun geraknya begitu cepat,
namun posisi yang tepat ialah menghadap ke belakang. Tentu suatu kesalahan bila
sang penumpang itu menghadap ke depan, meski dia bisa menoleh ke kiri ataupun
ke kanan. Gerakan itu dilakukan untuk mengimbangi posisinya dan agar
pandangannya pada sesuatu yang telah dilaluinya tetap. Dengan kata Iain tujuan
tolehan itu, untuk mengukuhkan totalitas dari realitas yang dilaluinya.
Tidak
mengherankan bila sejarawan ataupun orang yang belajarsejarah, hanya punya
kuasa atas ruang kehidupan masa lalu. Seringkali tanpa disadari seseorang
menganggap sejarah sebagai sesuatu yang kuno, klasik, ketinggalan zaman, dan
predikat negatif lainnya yang sesungguhnya hendak menyatakan bahwa tidak ada gunanya
tahu atau belajar sejarah. Bukankah jalan hidup kita ini menuju masa yang akan
datang dan sejarah itu sendiri adalah tentang sesuatu yang telah lalu, saperti
itu kata mereka. Namun demikian, dapat
juga dikatakan ironis, ketika mereka ditanya tentang asal usul serta ihwal
keterangan waktu dan tempat kelahirannya, juga sepintas mengenai perjalanan
hidupnya hingga saat itu, maka dengan mudah dan tanpa perlu Iama menggunakan
waktu dia Iangsung menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, bila ia ditanya tentang
apa dan bagaimana yang akan terjadi, seperti yang didewakannya (dalam cara
pandang), mungkin harus berpikir sejenak dan butuh waktu beberapa menit sambil
mengorek referensi unwriting atau mengingat kembali himpunan konsepnya yang
terkait dengan itu, kemudian memberikan komentar.
Tanpa bermaksud
mengabaikan arti pentingnya masa depan, tetapi hendak menunjukkan betapa masa
Ialu itu mudah dan "gratis", sehingga siapa pun dapat mengatakannya,
termasuk mereka yang melihat dengan sebelah mata masa Ialu itu. Dengan kata
Iain, pengetahuan dan kesadaran atas eksistensi serta kondisi kekinian kita
hanya bisa dipahami dengan membuka tabir transparan masa Ialu. Melalui cara itu
pula kita dapat memprediksikan tentang apa dan bagaimana masa depan.
Beberapa Pendapat Ahli
Sejarawan
Inggris, Edward Hellet Carr (1892-1982),
percaya bahwa meskipun para sejarawan tidak bisa memprediksi
peristiwa-peristiwa tertentu, mereka bisa membuat generalisasi yang berguna
baik sebagai petunjuk untuk tindakan masa depan maupun sebagai kunci untuk
memahami bagaimana hal-hal bisa terjadi (Warrington
2008:54).
Sering pula
terdengar kalimat bahwa, tentang apa dan bagaimana masa depan itu merupakan
ranah ilmu Iain yang tidak boleh dilirik oleh sejarawan. Seakan mereka hanya
bisa tahu dan bulajar tentang masa Ialu sebagai ruang kajiannya. Demikian pula sebaliknya, ilmuwan Iain tidak boleh
melihat bidang kajian sejarawan. Kesan seperti ini terjadi di lnggris antara
sejarawan dengan sisio\ogiawan. Apa yang dilakukan oleh sejarawan dalam
pandangan sosiologiawan hanyalah upaya mengumpulkan fakta ac sich yang amatiran.
Dalam bekerja, mereka tidak mempunyai sistem atau metode. Ketidakakuratan data
yang dikumpulkannya itu kemudian dicocok-cocokkan dengan kekurangmampuan mereka
dalam menganalisisnya. Sebaliknya, sejarawan menganggap bahwa sosiologiawan
adalah orang yang suka menggunakan istilah selingkungan (jargon) yang kasar dan
abstrak untuk menyatakan hal-hal yang sebenarnya sudah jelas. Mereka tidak
memiliki pengetahuan tentang waktu dan tempat serta membenamkan
individu-individu ke dalam kategori-kategori yang kaku. Meski demikian, mereka
tetap menjustifikasi kerjanya sebagai sesuatu yang ilmiah.
Kontradiksi atas
cara dan hasil kerja kedua ilmuwan tersebut oleh sejarawan Perancis yang juga
adalah tokoh utama aliran sejarah Annales, Fernand Braudel, bagaikan
"dialog si tuli" (Burke 2011).
Antara satu dengan yang lain mempunyai otoritas bercerita dan hak untuk atau
'cidak mendengarkan cerita orang lain tentang objek yang sama, yakni masyarakat
secara keseluruhan beserta seluruh aspek perilaku manusia. Perbedaan itu
dlsebabkan oleh cara pandang yang berbeda terhadap objek kajian. Lalu, What is History?, demikian kata kunci
karya Edward Hellet Carr (1987).
Kata sejarah diadopasi dari bahasa Arab yaitu Syajarah yang berarti pohon
kehidupan. Maksudnya, segala hal mengenai kehidupan memiliki “pohon" yakni
masa lalu itu sendiri. Sebagai pohon, sejarah adalah awal dari segalanya yang
menjadi realitas masa kini. Singkatnya, masa kini adalah produk atau warisan masa
lalu. Hal ini berkorelasi dengan arti kata syajarah sebagai keturunan dan
asal-usul. Syajarah sering dikaitkan pula dengan makna kata silsilah (juga dari
bahasa Arab) yang berarti urutan, seri, hubungan, dan daftar keturunan.
Terminologi Arab Iainnya yang menunjuk pada makna kata itu ialah ta'rikh (dari
kata arkh yang artinya rekaman suatu peristiwa tertentu pada waktu tertentu)
berarti buku tahunan, kronik, perhitungan tahun, buku riwayat, tanggal, dan
pencatatan tanggal.
Kata syajarah bersinonim dengan istilah
babad dalam tradisi masyarakat Jawa yang berarti riwayat kerajaan, riwayat
bangsa, buku tahunan, dan kronik, Masyarakat Sulawesi Selatan mempunyai suatu
tradisi pencatatan atas kejadian-kejadian atau peristiwa penting secara teratur
dan detail di atas daun lonta; yang dikenal dengan Attoriolong (Bugis) atau Pattoriolong
(Makassar). Catatan itu antara lain berisi informasi mengenai asal-usul,
tempat dan tanggal Iahir, serta situasi atau kondisi tertentu pada saat
seseorang dilahirkan. Kebanyakan tulisan-tulisan itu berkaitan dengan aktivitas
politik dan pemerintahan kerajaan-kerajaan. Salah satu karya penting terkait
dengan itu ialah Lontarak Bilang Raja
Gowa dan Tallok yang dibuat pada abad ke-16 (Kamaruddin dkk 1986; Noorduyn 1995; Abidin 1999). Karya ini
merupakan catatan harian raja terkait dengan kejadian-kejadian penting di
daerah ini dan di Iuar daerah terutama yang terkait dengan kerajaan Gowa-Tallo
(biasa juga disebut Kerajaan Makassar) pada abad ke-16 hingga paruh pertama
abad ke-18.
Sejarah dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga makna, yaitu: (1) kesusasteraan
Iama (silsilah, asal usul), (2) kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa lalu, dan (3) ilmu, pengetahuan, cerita, pelajaran tentang kejadian
dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa Iampau, atau juga disebut
riwayat (Poerwadarminta 2003). Dalam
bahasa asing dikenal istilah histoire
(Prancis), geschicte (Jerman), geschiedenis (Beianda), historia (Yunani), dan
histoire (Latin).
Sejarah juga merupakan terjemahan dari kata
history (lnggris) yang berarti sejarah. Secara harfiah terdapat empat
pengertian dari kata itu. Pertama, kata yang menunjuk pada sesuatu yang teiah
berlalu, suatu peristiwa atau suatu kejadian. Keduo, kata history bermakna
riwayat dari pengertian pertama. Ketiga, semua pengetahuan tentang masa lalu,
daiam hal ini berkaitan erat dengan duduk persoaian tertentu pada umumnya dan
khususnya tentang masyarakat tertentu. Keempat, history ialah ilmu yang
berusaha menentukan dan mewariskan pengetahuan (Gazalba 1981:2).
Kata history dalam New American Encyclopedia (1958) berarti kegiatan-kegiatan manusia
yang berhubungan dengan peristiwa- peristiwa tertentu dan ditempatkan dalam
kronologi antara yang satu dengan yang lain. Dalam Webster’s American Dictionary (1957), diartikan sebagai completelly
annual about the past event (laporan lengkap tentang peristiwa yang Ialu), baik
dari suatu bangsa atau negara, dengan ulasan tafsiran dan keterangan, yang
membedakannya dari sekedar annals dan kronik. ,
Setelah melewati
prawacana dan beberapa terminologi tentang sejarah, kini dicoba untuk
menghadirkan beberapa argumen ahli tentang sejarah. Bila muncul pertanyaan, apa
itu sejarah? Dengan mudah orang awam menjawab, adalah masa Ialu yang
diceritakan kembali. Ada juga yang berpendapat bahwa sejarah adalah ilmu yang
mempelajari tentang masa lalu, sekarang, dan akan datang. Pendapat yang
terakhir Iebih mengarah pada dimensi waktu sejarah yang sering diidentikan
dengan tiga masa itu. Kemudian, bagaimana mengetahui peristiwa sejarah? Sesuatu
yang diketahui berarti teiah atau sedang terjadi. Adalah tidak mungkin seseorang
mengetahui sesuatu yang belum terjadi, kecuali hanya daiam batasan
prediksi atau perkiraan. Pengetahuan
tentang sesuatu yang telah terjadi harus didukung oleh sumber sejarah sebagai
bukti terjadinya sesuatu, atau juga disebut duta zamannya. Sejarawan lbnu
Khaldun (1332-1406) memberikan penafsiran tentang sejarah atau fann al-tarikh
dalam tiga untaian kalimat yang dituangkan secara terpisah dalam karya
monumentalnya Muqaddimah Ibn Kha/dun (Khalduun 1982).
Pertama, bahwa fann
al-tarikh itu termasuk satu fann dimana bangsa-bangsa dan
generasi bergiliran tangan mempelajarinya. Antara orang-orang berilmu dan
orang-orang bodoh memiliki kadar pengetahuan yang sama tentang sejarah. Karena
pada awalnya sejarah tidak lebih dari sekedar berita tentang peristiwa-
peristiwa politik, negara-negara, dan kejadian-kejadian masa Iampau (hlm. 26).
kedua,
sesungguhnya funn al-tarikh itu merupakan funn yang memiliki mazhab (metode)
yang berharga, banyak faedahnya dan mulia tujuanya. la dapat memberikan kepada
kita ihwal bangsa- bangsa terdahulu yang terefleksi dalam perilakunya (hlm.
33).
Ketiga, bahwa
tarikh adalah berita tentang al-Utima’ al- insani (komunitas
manusia) dan pada umumnya mencakup segala perubahan yang terjadi dalam
peradaban karena watak peradaban itu sendiri.
Kata Fann
al-Tarikh dalam pandangan sejawaran Islam ini memiliki dua makna, yaitu
Iuar dan dalam. Dari sisi Iuar, sejarah merupakan perputaran waktu, rangkaian
peristiwa dan pergantian kekuasaan. Sejarah pada sisi ini hanya mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer yang berkaitan dengan 'apa', 'siapa',
'kapan’, dan 'dimana’ periistiwa itu terjadi. Dalam hal ini, kadar pengetahuan
sejarah antara ilmuwan dan bukan ilmuwan adalah sama. Pengetahuan seperti ini
disebut sejarah naratif (a story that told). Sedangkan sejarah dari
sisi dalam adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari
kebenaran, suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-musabab, tentang asal
usui segala sesuatu, suatu pengetahuan yang mendalam mengapa dan bagaimana
peristiwa itu terjadi. Pemahaman seperti inilah yang disebut sejarah kritis dan
hanya bisa dipahami oleh mereka yang memiliki kerangka berfikir kritis (filsafat).
Singkatnya, fann al-tarikh semacam ini sulit atau mungkin tidak bisa dipahami
oleh orang-orang yang tidak berilmu, kecuali pada sejarah dalam arti luarnya (Suharto 2003 :82-84).
Sejarah dalam
pandangan R. Mohammad Ali (2005 212)
adalah (1) jumlah perubahan-perubahan, kejadian-kejadian, dan
peristiwa-peristiwa dalam kenyataan sekitar kita, (2) cerita tentang
perubahan-perubahan itu dan sebagainya, dan (3) ilmu yang bertugas menyelidiki
tentang perubahan dan sebagainya. Edward
Hellet Carr (1987) mendefinisikan sejarah sebagai suatu dialog yang tak
berkesudahan antara sejarawan dengan masa Ialunya dan sejarawan dengan
sumber-sumbernya.
Definisi sejarah
Ali menunjuk pada tiga hal pokok, yakni peristiwa dan perubahan, cerita, dan
ilmu yang mempelajari tentang peristlwa dan perubahan. Sedangkan, definisi Carr mengacu pada aspek dinamisasi
dalam memberikan interpretasi atas suatu peristiwa. Dengan kata lain, pemahaman
atau penafsiran terhadap suatu perlstiwa tidak pernah mencapai final. Karena
itu, setlap generasi berhak untuk menginterpretasikan masa Ialunya berdasarkan
sudut pandangnya sendiri. Every man its
own history (setiap orang adalah Sejarawan bagl dirinya sendiri), demikian
kata Carl G. Gustavson (1955).
Sejarawan
Inggris, Robin George Collingwood
(1889-1943), memberikan tiga pengertian tentang sejarah, yaitu: (1)
semua sejarah adalah sejarah pemikiran,
(2) pengetahuan sejarah adalah pemberlakuan kembali pemikiran di dalam pikiran
sejarawan yang sejarahnya sedang dipelajari, dan (3) pengetahuan sejarah
merupakan usaha mengundang kembali pemikiran masa Ialu yang terbungkus dalam
konteks pemikiran-pemikiran masa kini yang dengan mengkontradiksikannya,
membatasinya dari bidang yang berbeda dari bidang mereka (Collingwood 2004: 134-139).
Tampaknya Collingwood
lebih menekankan pada sejarah pemikiran dan bagaimana sejarawan menggunakan
pikirannya untuk memahami pelbagai hal yang terdapat dalam peristiwa sejarah.
Cara berpikir ini juga dominan dalam pemikiran sejarah Michel Foucault (1926-1984) yang cenderung pada sejarah ide atau
pemikiran (Foucault 2002). Diakuinya
bahwa sejarah memang adalah bidang yang 'murah’ pada siapa pun yang hendak
mempelajarinya, namun pada dirinya juga terdapat ruang yang sesat bagi mereka
yang tidak mampu menyelami ruang pengetahuan sejarah secara mendalam terutama
yang terkait dengan jaringan pengetahuan yang unvisible (tidak tampak).
Menurut Roeslan
Abdulgani (1963:174), sejarah ialah salah satu cabang ilmu yang meneliti
dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta
kemanusiaan di masa Iampau, beserta segala kejadian-kejadiannya, dengan maksud
untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan
itu, untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan
keadaan sekarang serta arah proses masa depan. Sejarah dalam pengertian itu
mengandung tiga dimensi waktu, yaitu masa Iampau (past), sekarang (present),
dan akan datang (future).
Sejarah dalam pandangan Bapak Sejarawan
Indonesia, Sartono Kartodirdjo (1992
:14-15), memiliki dua aspek penting yaitu (1) sejarah dalam arti subjektif
sebagai suatu konstruksi atau bangunan yang disusun oleh sejarawan sebagai
suatu uraian atau cerita. Dikatakan subjektif karena sejarah memuat unsur-unsur
dan isi subjek (penulis) dan (2) sejarah dalam arti objektif yang menunjuk
kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, sebagai proses dalam aktualitasnya.
Sejarawan
Indonesia Iainnya, Kontowijoyo (2005
218) memberikan pengertian sejarah sebagai rekonstruksi masa Ialu. Artinya,
apa yang telah terjadi dalam kaitanya dengan manusia dan tindakan manusia
direkonstruksi (re artinya kembali; construction artinya bangunan) dalam
bentuk kisah sejarah. Pengertian ini lebih mengarah pada upaya menghadirkan
kembali kejadian-kejadian masa Ialu oleh sejarawan atas dasar sumber-sumber
sejarah dan daya imajinasi sejarawan. Dalam kaitan itu, Kuntowijoyo juga
membedakan karakteristik ilmu sejarah dalam artinegatif dan pengertian positif.
llmu sejarah
dalam arti negatif bukanlah mitos, filsafat, ilmu alam, dan Sastra. Meskipun
mitos adalah cerita tentang masa lalu, seperti halnya juga sejarah, namun
fondasi waktu tidak jelas dan alur pikirannya tidak rasional (manusia
digambarkan dengan sifat- sifatyangtidaklazimataumanusiawi).SejarahadaIahpengetahuan
tentang kejadian tertentu pada waktu tertentu dimana manusia dilukisakan apa
adanya (mempunyai perasaan cinta-kasih, hidup- mati, dan sebagainya) lazimnya
manusia biasa. Sejarah bukan pula filsafat yang dikonstruksi berdasarkan pada
imajinasi yang abstrak (“meIangit” istilah Marx),
tetapi suatu gambaran tentang manusia yang nyata adanya (“membumi” kata Marx).
Sejarah bukanlah ilmu alam yang memberlakukan
hukum- hukum secara tetap, tidak pandang orang, waktu, tempat, dan suasana.
Sejarah dalam eksplanasinya menyajikan hal-
hal yang khas atau bersifat ideolografis. Berbeda pula dengan sastra
yang menghadirkan suasana secara imajinatif, penulisnya mengkondisikan diri
sepenuhnya pada dunia yang dibangunnnya, dan kesimpulannya dapat berupa sebuah
pertanyaan. Sedangkan sejarah dikonstruksi atau sejarawan bekerja dalam bingkai
data sejarah dan alurnya dominan dipengaruhi oleh ketersediaan sumber-sumber
sejarah, dan hasil akhirnya adalah sebuah kesimpulan atau informasi yang
seutuhnya.
Karakteristik
ilmu sejarah dalam Iingkup yang positif terikat dengan prosedur penelitian
ilmiah. Penalarannya bersandar pada fakta dan kebenarannya terletak pada
pengungkapan masa Ialu umat manusia secara total dan objektif. Dalam konteks
ini, sejarah merupakan ilmu tentang manusia yang bergerak dan berubah dalam
ruang dan waktu yang jelas (tertentu). Karena hakekat pengetahuannya adalah
perubahan, maka sejarah merupakan ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna
sosial. Dengan kata Iain sejarah adalah sesuatu yang tertentu dan terperinci
(utuh).
Tinjauan Akhir
Mengacu pada
beberapa pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah bidang
kajian yang memahami manusia dan tindakannya yang selalu berubah dalam ruang
dan waktu sejarahnya. Karena itu, tafsir tentang sejarah tidak akan pernah
menghasilkan kata akhir. Selama masih ada ruang dialog dan sumber-sumber
sejarah, maka sejarah dalam arti kisahnya akan selalu diperbincangkan. meskipun
kerapkali orang menyangsikan kisah masa Ialu yang direkonstruksi oleh
sejarawan, terkait dengan objektifitas dan kebenarannya, namun adalah hal yang
pasti bahwa gambaran itu adalah sesuatu yang pernah terjadi dan tidak dapat
disangsikan, termasuk mereka yang memandang
sejarah secara parsial sebagai ilmu ataupun pengetahuan yang usang (termakan
waktu) dan tidak punya arti penting bagi kehidupan sekarang dan masa mendatang,
kecuali bila mereka hendak mengingkari eksistensinya sebagai manusia Iazimnya
yang mengalami proses masa hidup dan akhirnya mati.
Memang persoalan
objektifitas dan subjektifitas bukanlah hal mutiak yang dapat dilakukan oleh
sejarawan sebagai makhluk manusia dengan segala keterbatasannya, juga
motif-motif atau keinginan-keinginan subjektifnya atas usahanya mengkonstruksi
kembali masa lalu. Sebab dalam pandangan Presiden Uni Soviet ketiga, Nikita
Khruschev (1953-1964), bahwa satu-satunya kelompok yang bisa mempertanyakan
Iegitimasi penguasa adalah sejarawan. Dengan dokumen primer yang dimilikinya,
sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa sosial politik masa
Ialu, tanpa bisa dibantah oleh rezim pemerintahan yang berkuasa (Adam
1999:567-577). Kuasa sejarawan dalam menghadirkan kembali wajah masa Ialu
seperti itu telah diutarakan oleh Carr bahwa "fakta-fakta berbicara hanya
ketika sang sejarawan mempersilahkan mereka berbicara. Diaiah yang memutuskan
fakta mana yang diberi kesempatan buat bicara” (Warrington 2008:50).
Kendati
demikian, juga tidak dapat dipungkiri bahwa acapkali sejarah oleh segelintir
sejarawan digunakan untuk mengukuhkan kepentingan rezim tertentu. Baik disadari
ataupun tidak, sejarah memiliki arti penting dan strategis dalam kehidupan umat
manusia di masa Ialu, sekarang, dan masa mendatang.
di ambil dari buku : PENGANTAR ILMU SEJARAH,
OLEH ABDUL RAHMAN HAMID & MUHAMMAD SALEH MAJID
No comments:
Post a Comment