Sebagian sejarawan menanggap
bahwa tidak ada ruang untuk melakukan generalisasi dalam studi sejarah.
Pandangan ini terutama dianut oleh mereka yang memahami sejarah sebagai suatu
yang unik. Antara satu peristiwa dengan peristiwa Iainnya berbeda, sehingga simpulan studi dari suatu
peristiwa tidak dapat digunakan untuk studi yang Iainnya. Generalisasi dalam
konteks ini, dianggap sebagai suatu yang
tabu bagi sejarawan. Namun ada pula sejarawan yang menganggap bahwa dalam studi
sejarah dapat dilakukan atau menghasilkan generalisasi. Metode berpikir yang
digunakan ialah induksi, yakni menyimpulkan sesuatu dari hal-hal yang khusus
kepada hal-hal yang bersifat umum. Simpulan itu dapat menjadi dasar penelitian
bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya, dan
merupakan sejarah yang diterima (accepted history). Generalisasi
dapat dijadikan sebagai dugaan sementara dan biasanya berupa generalisasi
konseptual.
Meskipun demikian dalam pemikiran
Kuntowijoyo (2005:145), generalisasi
harus dibatasi supaya sejarah tetap empiris. Menurutnya, perlu dicermati dua
hal pokok dalam studi sejarah terkait dengan generalisasi. Pertama,
generalisasi sebagai rumusan konseptual atau simpulan yang diperoleh dari data
yang ada. Kedua, generalisasi sebagai penyimpulan dari hasil penelitian.
Misalnya, kata ”revolusi"
merupakan simpulan dari data yang ada yang menunjuk pada perubahan mendasar
dalam suatu tatanan kehidupan dalam waktu yang singkat.
Kata “Revolusi lndustri" menunjuk pada perubahan dalam bidang
industri di Eropa adalah contoh generalisasi konseptual yang diperoleh dari
hasil penelitian. Agar studi sejarah tetap bersifat empiris, maka sejarawan
tidak boleh larut dalam model generalisasi yang pertama. Lebih tepat bila
melakukan generalisasi model kedua, sebab sejarah adalah sebuah konstruksi masa
lalu yang didasarkan pada bukti sejarah. Dengan demikian rekonstruksi hanya
dapat dilakukan, bila sejarawan mengadakan penelitian.
Menurut James A. Banks (1977) dalam Teaching Strategies for the Social
Studies, generallsasi dalam sejarah dibedakan atas tiga tingkatan, yaitu: high
order generalization, intermediate level generalization, and Law order
generalization. Generalisasi pertama pemakaiannya bersifat umum
(universal), berkaitan dengan hukum-hukum atau prinsip-prinsip. Penyimpulan
yang kedua berlaku untuk kawasan atau kebudayaan di daerah tertentu.
Generalisasi terakhir (ketiga), yang paling memungkinkan digunakan dalam
sejarah, yakni slmpulan yang didasarkan pada data dari dua atau lebih tentang
sekelompok masyarakat dari suatu kawasan tertentu yang bersifat lokal (Supardan 2008:351).
Generalisasi pada dasarnya adalah
formulasi konsep atas himpunan pengetahuan terkait dengan hal tertentu. Dalam
merumuskan konsepnya, Karl Marx
berbeda dengan ilmuwan yang disebut sebagai gurunya, yakni Frederick Hegel. Marx
bertolak dari fakta emplris untuk selanjutnya merumuskan gagasan tentang fakta
itu. Sebaliknya, Hegel memulai
dengan ide yang abstrak (melangit) untuk kemudian dilihat pada kondisi yang
real (membumi). Cara pandang itu diformulasi dalam gaya bahasa Marx, bahwa dalam analisanya Hegel mulai dari ”langit" ke
”bumi” dan sebaliknya dia mengawali anallsisnya dari ”bumi" naik ke
"langit".
Penyimpulan Marx berdasar pada kondlsi real (nyata) atau hasil penelitian, sedangkan
Hegel mengacu pada hal yang abstrak sesuai dengan kondisi umum yang terjadi di
Eropa pada masa hidupnya. Karena itu, gagasan Hegel sulit untuk menciptakan
kesadaran bagi kelas pekerja (buruh) untuk melakukan revolusi menumbangkan kaum
borjuis yang hidup mewah di atas nasib buruh yang merana. Sebaliknya, formulasi
konseptual yang didasarkan pada fakta empiric kondisi Iingkungan kaum buruh
dapat menyadarkan pada mereka untuk mengambil alih sumber-sumber produksi dari
kaum borjuis. Pemikiran Marx ini banyak
mengilhami gerakan-gerakan buruh di berbagai belahan dunia. Karena itu, ia
dikenal sebagai Arsitektur gerakan revolusi dan pemikir revolusioner dalam
studi sosial. Jelaslah sudah bahwa sulit untuk memisahkan antara generalisasi
dan konsep dalam sejarah. Berikut akan dikemukakan empat macam generalisasi dan
beberapa konsep terkait yang banyak dijumpai dalam studi sejarah.
Generalisasi Konseptual
Konsep pada dasarnya,
menggambarkan tentang fakta. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan misalnya,
dikenal adanya dua kelompok sosial yang berbeda dan memiliki status serta
kekuasaan yang berbeda dalam pranata sosial dan politik lokal. Kelompok yang
memiliki akses atau sumber-sumber produksi (meminjam konsep Marx) mempunyai kekuasaan atas kelompok
yang tidak memiliki sumber-sumber produksi. Selanjutnya disebut patron dan
klien. Awalnya, kelompok yang disebut patron memiliki sumber-sumber produksi
dan karena itu menjadi sumber penguasaan atas kelompok klien yang menyatakan
kepatuhan pada patronnya. Memahami generalisasi konseptual patron dan klien,
maka dapat diketahui dinamika perubahan dan sejarah daerah ini.
Generalisasi Iain yang banyak
dijumpai dalam studi sejarah, yaitu: kolonialisme,
nasionalisme, kemerdekaan, revolusi, dan peradaban. Lebih lanjut dijelaskan
berikut ini.
Kolonialisme, yakni
konsep yang menunjuk pada pola penguasaan terhadap suatu daerah atau koloni
oleh negara tertentu. Fenomena ini terkait dengan penjelajahan samudera oleh
bangsa Eropa (Barat) yang didorong oleh semangat menghimpun kekayaan (gold), perluasan daerah kekuasaan (glory), dan pengembangan agama (gospel). Daerah-daerah yang menjadi
sasarannya ialah di kawasan Amerika, Asia, Afrika, dan Australia.
Nasionalisme ialah konsep
kesadaran nasional suatu bangsa atas kondisi ketertindasannya yang diiakukan
oleh bangsa lain. Nasionaiisme terkait pula dengan kolonialisme sebagai suatu
praktek penjajahan yang melahirkan kesadaran rakyat koloni atau daerah yang
dijajah untuk bangkit dari ketertindasannya. Kebebasan adalah spirit utama rakyat
koloni dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Dalam studi seperti ini,
dapat diperoleh penjeiasan yang menarik terkait dengan sebab musabab konfiik
yang tersembunyi di antara berbagai kelompok etnik. Jadi, nasionalisme bukan
semata keyakinan one hundred percent seperti di Amerika, meiainkan suatu
kekuatan yang bisa menggerakkan sekumpulan orang melakukan perbuatan sekaligus
menganut suatu keyakinan seperti pada kasus gerakan Reformasi di Jerman.
Kemerdekaan merupakan
visi utama perjuangan rakyat koloni. Keinginan untuk merdeka Iahir karena
adanya batasan-batasan berpikir dan berperilaku di daerah (negeri) sendiri oleh
bangsa asing. Singkat cerita, kemerdekaan lebih menitikberatkan pada komitmen
untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang berdaulat dan tidak terikat
oleh bangsa dan negara Iain. Konsep ini merupakan nilai utama dalam kehidupan
politik bagi setiap negara dan bangsa yang senantiasa diangung-agungkan.
Revolusi ialah konsep
yang menunjuk pada perubahan yang radikal, berlangsung cepat, dan
besar-besaran. Pada 1917, Vladimir Lenin
mengadakan revolusi sosial yang dialamatkan kepada golongan borjuis Rusia
pimpinan Tsar Nicholas II. Peristiwa ini Iazim dikenal dengan Revolusi
Bolshevik 1917. Tujuannya adalah untuk merubahan tatanan lama yang didominasi
oleh kaum borjuis dengan tatanan baru yakni komunisme.
Berbeda dengan revolusi, konsep
evolusi mengacu pada perubahan secara perlahan dan dalam waktu yang lama.
Demikian pula reformasi yang menunjuk pada formasi kembali (re
berarti kembali dan formasi adalah bentuk) tatanan kehidupan yang tidak Iagi sesuai
dengan tuntutan zaman. (gerakan reformasi di lndonesia pada 1998-sekarang) atau
nilai-nilai yang sesungguhnya (Reformasi di Eropa Barat yang melahirkan Kristen
Protestan).
Peradaban ialah konsep yang
menjelaskan tentang kemajuan tertinggi yang dihasilkan oleh manusia di daerah
dan pada waktu tertentu. Terdapat sejumlah pusat-pusat peradaban dunla, seperti
kawasan Sungai Huang Ho di Cina, Lembah Sungai Indus di India, Sungai Nil di
Mesir, dan Laut Tengah di Eropa. Kemajuan yang pernah dicapai oleh umat manusia
dapat dilihat pada sejumlah karya yang sangat mengagumkan yang kini dikenal
sebagai ”keajaiban dunia",
seperti: Candi Borobudur di Indonesia, Taman Bergantung Babylonia, dan Piramida
di Mesir.
Generalisasi Personal
Penyimpulan personal sama dengan
cara berpikir pars pro toto, yakni menyamakan bagian dengan keseluruhan.
Fokusnya bukan pada totalitas sesuatu itu, tetapi penyebutan seorang al<tor
(personal) dapat membuka cakrawala berpikir terhadap suatu peristiwa sejarah.
Misalnya, ketika membicarakan konsep persatuan pra-kemerdekaan, cukup menyebut
tokoh Gadjah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya. Tokoh ini sering
direpresentasikan dengan kerajaan Majapahit, atau sebaliknya. Dalam kasus
Sulawesi Selatan, tokoh Bugis Arung
Palakka dan Makassar Sultan
Hasanuddin selalu dikaitkan dengan kemelut politik abad ke-17, yakni Perang
Makassar. Leodard Y. Andaya (2004)
dalam kaitan itu menyebut Arung Palakka sebagai pewaris atau arsitektur
persatuan rakyat dan kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan.
Soekarno dan Hatta adalah tokoh
yang familiar dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, melawan peniajahan
bangsa asing (Belanda). Seakan tokoh ini telah meredupkan eksistensi tokoh-tokoh
Iainnya yangjuga mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan keduanya.
Singkatnya, sejarah perjuangan kemerdekaan digeneralisasi dengan personal
Soekarno dan Hana. Ketika mendiskusikan mengenai Gerakan DI/TII di Indonesia,
maka akan hadir nama Sekar Maridjan Kartosoewirdjo yang dikenal sebagai imam
Negara Islam indonesia (NIL). Demikian pula bila gerakan ini ditilik dalam
ruang tertentu, khususnya Sulawesi Selatan dan Tenggara maka perhatian langsung
tertuju pada tokoh kuncinya, yakni Abdul
Qahhar Mudzakkar.
Fokus utama pilihan atas tokoh
dalam generalisasi seperti ini ialah pada perannya dalam proses sejarah suatu
daerah pada periode tertentu. Diskusi mengenai masalah kemanusiaan akan
menjumpai tokoh seperti Abraham Lincoln
yang sangat gigih menentang praktek perbudakan di Amerika. Demikian pula ketika
menyebut personal, Nelson Mandela, maka yang terbayang adalah perjuangan rakyat
dalam menghapuskan politik rasial (apartheid)
di Afrika Selatan. Sebut saja yang lain yakni Mahatma Gandhi dapat menjadi icon perjuangan rakyat India dalam
perjuangan kemerdekaan. Bahkan Mikhail
Gorbachev dapat menjadi contoh generalisasi personal terkait dengan
detik-detik terakhir keruntuhan ideologi besar dunia pimpinan Uni Soviet, yakni
komunisme, dan berakhirnya Perang Dingin yang oleh Prancis Fukuyama menyebutnya
sebagai “The end of History".
Bila generalisasi personal
tersebut menunjuk pada peran politiknya, maka personal Karl Marx adalah
representasi pemikir dunia komunisme. Konsep proletar dan borjuis adalah
tipologi masyarakat yang dipopulerkannya. Bila hendak mendiskusikan tentang
penindasan, maka orang akan langsung menilik konsep dan tokoh ini. Seakan ia
telah menjadi ikon dunia komunisme. Demikian pula ketika menyebut Marthin
Luther sama halnya dengan gerakan reformasi di Eropa Barat yang melahirkan
Kristen Protestan.
Penyimpulan personal memang dapat
memudahkan dalam memahami sejarah suatu daerah dan periode tertentu, kerap mengabaikan
peran tokoh-tokoh lainnya. Tidak hanya itu, peran orang-orang kecil tereliminasi
secara marginal dalam sejarah, sekalipun keberadaan mereka sesungguhnya adalah
prasyarat kokohnya tokoh utama (personal) dalam sejarah. Misalnya, ketika
ditanya, siapakah isteri Gadjah Mada?
Mungkin seseorang sempat mengerut keningnya karena mencoba untuk mengetahui jawabanya,
namun ternyata sulit ditemukan. Alhasil, peran isteri Gadjah Mada dalam sejarah menjadi terabaikan.
Singkat cerita, sejarawan
bagaimana pun sederhananya mengadakan generalisasi, namun ia tidak boleh larut
di dalamnya, agar studinya tetap empiris. Pengabaian tokoh Iainnya atau
orang-orang kecil dalam sejarah adalah sebuah kepincangan rekonstruksi masa
lalu secara menyeluruh, demikian visi para sejarawan Annales Perancis.
Generalisasi Spasial
Kata "Timur" dan "Barat"
sering dijumpai dalam beberapa literatur sejarah. Ada pula kata "Timur Dekat" dan "Timur Jauh". Pada masa
penjelajahan samudera, daerah-daerah yang berada di luar Eropa biasa juga
disebut sebagai "Dunia Baru"
(Romein
1956). Tampaknya terdapat egosentrisme bangsa Eropa sebagai "Dunia
Lama" (dalam makna kata ini). Dunia Baru menunjuk pada daerah daerah yang
"baru" ditemukan oleh bangsa Eropa. Karena itu, suatu daerah yang
pertama kali didatangi bangsa Eropa seakan baru diketahui dan karena itu disebut
“dunia baru". Egosentrisme itu
juga tampak pada penyebutan ruang (daerah) di kawasan Asia dengan sebutan
"Dunia Timur".
Daerah-daerah Asia yang dekat dengan benua Eropa disebut dengan Timur Dekat,
dan bagi daerah-daerah yang jauh di bagian timur, identik pula dengan negeri
Cina dan Jepang, populer dengan sebutan "Timur Jauh". Istilah Hindia Belanda menunjuk pada
daerah-daerah di Kepulauan Nusantara (kini indonesia) yang pernah dijajah oieh
Belanda.
Pada paruh kedua abad ke-20,
dunia tampak terpola dalam dua kutub atau kekuatan besar yang disebut
"Timur" dan "Barat". Istilah ini terkait dengan kemelut
poiitik dunia pasca Perang Dunia li. Negara-negara yang tergabung dalam Blok
Barat menganut ideologi iiberal, sedangkan negara iainnya yang menganut ideology
komunisme diidentifikasi sebagai Blok Timur. Asas generaiisasi ini lebih kepada
aspek ideologi poiitik dunia, bukan makna kata "Timur" yang menunuk
pada kawasan Asia dan ”Barat" untuk menyebut kawasan Eropa pada masa
penjelajahan samudera. lstilah ini populer selama Perang Dingin (1945-1991).
Khusus untuk kawasan Asia
Tenggara, Cina dan Jepang enyebutnya
sebagai Nan-Yang (Daerah Selatan)
atau Lands
below the Winds (Tanah di bawah Angin). Pada masa Perang Dunia il,
kawasan Asia Tenggara oleh pihak Sekutu (yang dimaksud lnggris, Belanda, dan
Perancis) dilihat sebagai kawasan yang terpisah dari india. Hal ini tampak pada
penyebutan Futher India dan Achter Indie atau Indocina. Asia Tenggara dalam
konteks itu adaiah pinggiran dari peradaban besar Cina dan Jepang serta india. Anthony
Reid (1992; 1993a) menggunakan istilah Tanah di bawah Angin dalam studinya
tentang Asia Tenggara pada masa Kurun Niaga (1450-1680). Kepulauan Maluku dalam
konteks jaringan niaga dikenal dengan Spice Islands (Kepulauan Rempah-Rempah), suatu
istilah yang menunjuk pada komoditi andalannya yakni: cengkeh, pala, dan bunga
pala, yang kata Fernand Braudel, pernah merajai meja niaga di Eropa di abad
itu. Bahkan satu lagi pulau yang terletak paling Selatan jazirah Sulawesi,
yakni Selayar yang terkenal dengan komoditi kelapanya oleh Christian G. Heersink (1995) disebuat sebagai "The
Green Gold” (emas hijau).
Generalisasi Temporal
Penyimpulan semacam ini terkait
erat dengan aspek periodisasi waktu dalam sejarah. Misalnya sebutan Kurun Niaga
pada 1450-1680 seperti yang digunakan Anthony
Reid dalam menjelaskan sejarah Asia Tenggara. Reid juga menyebut periode
ini dengan masa modern awal bagi sejarah Asia Tenggara. Sulawesi Selatan pada
abad ke-15-16 oleh beberapa ilmuwan digeneralisasi sebagai periode “Memperebutkan
Keunggulan” antara kerajaan-kerajaan lokal atau Zaman (Fajar) Sejarah Sulawesi
Selatan (Mattulada 1998). Dalam sejarah Indonesia modern dikenal periode
Pergerakan Nasional yang dimulai sejak Iahirnya Budi Utomo (1908)
hingga berakhirnya pendudukan
militer Jepang (1945). Periode sesudahnya yakni antara 1945-1949 dikenal dengan
Revolusi Fisik, dan seterusnya. Generalisasi temporal dalam sejarah Indonesia juga
dibagi berdasarkan tata pemerintahan: Periode Pemerintahan Parlementer
(1945-1959) dan demokrasi: Terpimpin (1959-1966) dan Pancasila (1967-1998).
Periode sebelum 1966 biasa juga disebut Orde Lama, yang bila mengacu pada
bentuk generalisasi personal diwakili oleh tokoh Soekarno, dan periode sesudah
1966 hingga tahun 1998 dikenal sebagai Orde Baru dengan tokoh kucinya Soeharto.
Sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru (1998), periode sejarah Indonesia hingga
kini disebut Orde Reformasi.
Meskipun telah dikemukakan
beberapa generalisasi dan konsep sejarah, namun patut direnungkan kembali
kalimat Kuntowijoyo, bahwa daiam mengadakan generalisasi sejarawan tidak boleh
Iarut di daiamnya, sehingga karya sejarah tidak empirik. Spesifikasi dalam
generalisasi, harus tetap dikedepankan yang dilandasi oleh sumber sejarah.
Sumber : Buku Pengantar Ilmu Sejarah
Oleh : Abd.Rahman Hamid dan M. Saleh Majid
pengantar ilmu sejarah |
No comments:
Post a Comment