Wednesday, March 20, 2013

GENERALISASI DAN KONSEP SEJARAH



Sebagian sejarawan menanggap bahwa tidak ada ruang untuk melakukan generalisasi dalam studi sejarah. Pandangan ini terutama dianut oleh mereka yang memahami sejarah sebagai suatu yang unik. Antara satu peristiwa dengan peristiwa Iainnya  berbeda, sehingga simpulan studi dari suatu peristiwa tidak dapat digunakan untuk studi yang Iainnya. Generalisasi dalam konteks  ini, dianggap sebagai suatu yang tabu bagi sejarawan. Namun ada pula sejarawan yang menganggap bahwa dalam studi sejarah dapat dilakukan atau menghasilkan generalisasi. Metode berpikir yang digunakan ialah induksi, yakni menyimpulkan sesuatu dari hal-hal yang khusus kepada hal-hal yang bersifat umum. Simpulan itu dapat menjadi dasar penelitian bila sifatnya sederhana, sudah dibuktikan oleh penelitian sebelumnya, dan merupakan sejarah yang diterima (accepted history). Generalisasi dapat dijadikan sebagai dugaan sementara dan biasanya berupa generalisasi konseptual.

Meskipun demikian dalam pemikiran Kuntowijoyo (2005:145), generalisasi harus dibatasi supaya sejarah tetap empiris. Menurutnya, perlu dicermati dua hal pokok dalam studi sejarah terkait dengan generalisasi. Pertama, generalisasi sebagai rumusan konseptual atau simpulan yang diperoleh dari data yang ada. Kedua, generalisasi sebagai penyimpulan dari hasil penelitian. Misalnya, kata ”revolusi" merupakan simpulan dari data yang ada yang menunjuk pada perubahan mendasar dalam suatu tatanan kehidupan dalam waktu yang singkat.

Kata “Revolusi lndustri" menunjuk pada perubahan dalam bidang industri di Eropa adalah contoh generalisasi konseptual yang diperoleh dari hasil penelitian. Agar studi sejarah tetap bersifat empiris, maka sejarawan tidak boleh larut dalam model generalisasi yang pertama. Lebih tepat bila melakukan generalisasi model kedua, sebab sejarah adalah sebuah konstruksi masa lalu yang didasarkan pada bukti sejarah. Dengan demikian rekonstruksi hanya dapat dilakukan, bila sejarawan mengadakan penelitian.

Menurut James A. Banks (1977) dalam Teaching Strategies for the Social Studies, generallsasi dalam sejarah dibedakan atas tiga tingkatan, yaitu: high order generalization, intermediate level generalization, and Law order generalization. Generalisasi pertama pemakaiannya bersifat umum (universal), berkaitan dengan hukum-hukum atau prinsip-prinsip. Penyimpulan yang kedua berlaku untuk kawasan atau kebudayaan di daerah tertentu. Generalisasi terakhir (ketiga), yang paling memungkinkan digunakan dalam sejarah, yakni slmpulan yang didasarkan pada data dari dua atau lebih tentang sekelompok masyarakat dari suatu kawasan tertentu yang bersifat lokal (Supardan 2008:351).

Generalisasi pada dasarnya adalah formulasi konsep atas himpunan pengetahuan terkait dengan hal tertentu. Dalam merumuskan konsepnya, Karl Marx berbeda dengan ilmuwan yang disebut sebagai gurunya, yakni Frederick Hegel. Marx bertolak dari fakta emplris untuk selanjutnya merumuskan gagasan tentang fakta itu. Sebaliknya, Hegel memulai dengan ide yang abstrak (melangit) untuk kemudian dilihat pada kondisi yang real (membumi). Cara pandang itu diformulasi dalam gaya bahasa Marx, bahwa dalam analisanya Hegel mulai dari ”langit" ke ”bumi” dan sebaliknya dia mengawali anallsisnya dari ”bumi" naik ke "langit".

Penyimpulan Marx berdasar pada kondlsi real (nyata) atau hasil penelitian, sedangkan Hegel mengacu pada hal yang abstrak sesuai dengan kondisi umum yang terjadi di Eropa pada masa hidupnya. Karena itu, gagasan Hegel sulit untuk menciptakan kesadaran bagi kelas pekerja (buruh) untuk melakukan revolusi menumbangkan kaum borjuis yang hidup mewah di atas nasib buruh yang merana. Sebaliknya, formulasi konseptual yang didasarkan pada fakta empiric kondisi Iingkungan kaum buruh dapat menyadarkan pada mereka untuk mengambil alih sumber-sumber produksi dari kaum borjuis. Pemikiran Marx ini banyak mengilhami gerakan-gerakan buruh di berbagai belahan dunia. Karena itu, ia dikenal sebagai Arsitektur gerakan revolusi dan pemikir revolusioner dalam studi sosial. Jelaslah sudah bahwa sulit untuk memisahkan antara generalisasi dan konsep dalam sejarah. Berikut akan dikemukakan empat macam generalisasi dan beberapa konsep terkait yang banyak dijumpai dalam studi sejarah.

Generalisasi Konseptual

Konsep pada dasarnya, menggambarkan tentang fakta. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan misalnya, dikenal adanya dua kelompok sosial yang berbeda dan memiliki status serta kekuasaan yang berbeda dalam pranata sosial dan politik lokal. Kelompok yang memiliki akses atau sumber-sumber produksi (meminjam konsep Marx) mempunyai kekuasaan atas kelompok yang tidak memiliki sumber-sumber produksi. Selanjutnya disebut patron dan klien. Awalnya, kelompok yang disebut patron memiliki sumber-sumber produksi dan karena itu menjadi sumber penguasaan atas kelompok klien yang menyatakan kepatuhan pada patronnya. Memahami generalisasi konseptual patron dan klien, maka dapat diketahui dinamika perubahan dan sejarah daerah ini.

Generalisasi Iain yang banyak dijumpai dalam studi sejarah, yaitu: kolonialisme, nasionalisme, kemerdekaan, revolusi, dan peradaban. Lebih lanjut dijelaskan berikut ini.

Kolonialisme, yakni konsep yang menunjuk pada pola penguasaan terhadap suatu daerah atau koloni oleh negara tertentu. Fenomena ini terkait dengan penjelajahan samudera oleh bangsa Eropa (Barat) yang didorong oleh semangat menghimpun kekayaan (gold), perluasan daerah kekuasaan (glory), dan pengembangan agama (gospel). Daerah-daerah yang menjadi sasarannya ialah di kawasan Amerika, Asia, Afrika, dan Australia.

Nasionalisme ialah konsep kesadaran nasional suatu bangsa atas kondisi ketertindasannya yang diiakukan oleh bangsa lain. Nasionaiisme terkait pula dengan kolonialisme sebagai suatu praktek penjajahan yang melahirkan kesadaran rakyat koloni atau daerah yang dijajah untuk bangkit dari ketertindasannya. Kebebasan adalah spirit utama rakyat koloni dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Dalam studi seperti ini, dapat diperoleh penjeiasan yang menarik terkait dengan sebab musabab konfiik yang tersembunyi di antara berbagai kelompok etnik. Jadi, nasionalisme bukan semata keyakinan one hundred percent seperti di Amerika, meiainkan suatu kekuatan yang bisa menggerakkan sekumpulan orang melakukan perbuatan sekaligus menganut suatu keyakinan seperti pada kasus gerakan Reformasi di Jerman.

Kemerdekaan merupakan visi utama perjuangan rakyat koloni. Keinginan untuk merdeka Iahir karena adanya batasan-batasan berpikir dan berperilaku di daerah (negeri) sendiri oleh bangsa asing. Singkat cerita, kemerdekaan lebih menitikberatkan pada komitmen untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang berdaulat dan tidak terikat oleh bangsa dan negara Iain. Konsep ini merupakan nilai utama dalam kehidupan politik bagi setiap negara dan bangsa yang senantiasa diangung-agungkan.

Revolusi ialah konsep yang menunjuk pada perubahan yang radikal, berlangsung cepat, dan besar-besaran. Pada 1917, Vladimir Lenin mengadakan revolusi sosial yang dialamatkan kepada golongan borjuis Rusia pimpinan Tsar Nicholas II. Peristiwa ini Iazim dikenal dengan Revolusi Bolshevik 1917. Tujuannya adalah untuk merubahan tatanan lama yang didominasi oleh kaum borjuis dengan tatanan baru yakni komunisme.

Berbeda dengan revolusi, konsep evolusi mengacu pada perubahan secara perlahan dan dalam waktu yang lama. Demikian pula reformasi yang menunjuk pada formasi kembali (re berarti kembali dan formasi adalah bentuk) tatanan kehidupan yang tidak Iagi sesuai dengan tuntutan zaman. (gerakan reformasi di lndonesia pada 1998-sekarang) atau nilai-nilai yang sesungguhnya (Reformasi di Eropa Barat yang melahirkan Kristen Protestan).

Peradaban ialah konsep yang menjelaskan tentang kemajuan tertinggi yang dihasilkan oleh manusia di daerah dan pada waktu tertentu. Terdapat sejumlah pusat-pusat peradaban dunla, seperti kawasan Sungai Huang Ho di Cina, Lembah Sungai Indus di India, Sungai Nil di Mesir, dan Laut Tengah di Eropa. Kemajuan yang pernah dicapai oleh umat manusia dapat dilihat pada sejumlah karya yang sangat mengagumkan yang kini dikenal sebagai ”keajaiban dunia", seperti: Candi Borobudur di Indonesia, Taman Bergantung Babylonia, dan Piramida di Mesir.

Generalisasi Personal

Penyimpulan personal sama dengan cara berpikir pars pro toto, yakni menyamakan bagian dengan keseluruhan. Fokusnya bukan pada totalitas sesuatu itu, tetapi penyebutan seorang al<tor (personal) dapat membuka cakrawala berpikir terhadap suatu peristiwa sejarah. Misalnya, ketika membicarakan konsep persatuan pra-kemerdekaan, cukup menyebut tokoh Gadjah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya. Tokoh ini sering direpresentasikan dengan kerajaan Majapahit, atau sebaliknya. Dalam kasus Sulawesi Selatan, tokoh Bugis Arung Palakka dan Makassar Sultan Hasanuddin selalu dikaitkan dengan kemelut politik abad ke-17, yakni Perang Makassar. Leodard Y. Andaya (2004) dalam kaitan itu menyebut Arung Palakka sebagai pewaris atau arsitektur persatuan rakyat dan kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan.

Soekarno dan Hatta adalah tokoh yang familiar dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, melawan peniajahan bangsa asing (Belanda). Seakan tokoh ini telah meredupkan eksistensi tokoh-tokoh Iainnya yangjuga mempunyai peran yang tidak kalah penting dengan keduanya. Singkatnya, sejarah perjuangan kemerdekaan digeneralisasi dengan personal Soekarno dan Hana. Ketika mendiskusikan mengenai Gerakan DI/TII di Indonesia, maka akan hadir nama Sekar Maridjan Kartosoewirdjo yang dikenal sebagai imam Negara Islam indonesia (NIL). Demikian pula bila gerakan ini ditilik dalam ruang tertentu, khususnya Sulawesi Selatan dan Tenggara maka perhatian langsung tertuju pada tokoh kuncinya, yakni Abdul Qahhar Mudzakkar.

Fokus utama pilihan atas tokoh dalam generalisasi seperti ini ialah pada perannya dalam proses sejarah suatu daerah pada periode tertentu. Diskusi mengenai masalah kemanusiaan akan menjumpai tokoh seperti Abraham Lincoln yang sangat gigih menentang praktek perbudakan di Amerika. Demikian pula ketika menyebut personal, Nelson Mandela, maka yang terbayang adalah perjuangan rakyat dalam menghapuskan politik rasial (apartheid) di Afrika Selatan. Sebut saja yang lain yakni Mahatma Gandhi dapat menjadi icon perjuangan rakyat India dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan Mikhail Gorbachev dapat menjadi contoh generalisasi personal terkait dengan detik-detik terakhir keruntuhan ideologi besar dunia pimpinan Uni Soviet, yakni komunisme, dan berakhirnya Perang Dingin yang oleh Prancis Fukuyama menyebutnya sebagai “The end of History".

Bila generalisasi personal tersebut menunjuk pada peran politiknya, maka personal Karl Marx adalah representasi pemikir dunia komunisme. Konsep proletar dan borjuis adalah tipologi masyarakat yang dipopulerkannya. Bila hendak mendiskusikan tentang penindasan, maka orang akan langsung menilik konsep dan tokoh ini. Seakan ia telah menjadi ikon dunia komunisme. Demikian pula ketika menyebut Marthin Luther sama halnya dengan gerakan reformasi di Eropa Barat yang melahirkan Kristen Protestan.

Penyimpulan personal memang dapat memudahkan dalam memahami sejarah suatu daerah dan periode tertentu, kerap mengabaikan peran tokoh-tokoh lainnya. Tidak hanya itu, peran orang-orang kecil tereliminasi secara marginal dalam sejarah, sekalipun keberadaan mereka sesungguhnya adalah prasyarat kokohnya tokoh utama (personal) dalam sejarah. Misalnya, ketika ditanya, siapakah isteri Gadjah Mada? Mungkin seseorang sempat mengerut keningnya karena mencoba untuk mengetahui jawabanya, namun ternyata sulit ditemukan. Alhasil, peran isteri Gadjah Mada dalam sejarah menjadi terabaikan.

Singkat cerita, sejarawan bagaimana pun sederhananya mengadakan generalisasi, namun ia tidak boleh larut di dalamnya, agar studinya tetap empiris. Pengabaian tokoh Iainnya atau orang-orang kecil dalam sejarah adalah sebuah kepincangan rekonstruksi masa lalu secara menyeluruh, demikian visi para sejarawan Annales Perancis.

Generalisasi Spasial

Kata "Timur" dan "Barat" sering dijumpai dalam beberapa literatur sejarah. Ada pula kata "Timur Dekat" dan "Timur Jauh". Pada masa penjelajahan samudera, daerah-daerah yang berada di luar Eropa biasa juga disebut sebagai "Dunia Baru" (Romein 1956). Tampaknya terdapat egosentrisme bangsa Eropa sebagai "Dunia Lama" (dalam makna kata ini). Dunia Baru menunjuk pada daerah daerah yang "baru" ditemukan oleh bangsa Eropa. Karena itu, suatu daerah yang pertama kali didatangi bangsa Eropa seakan baru diketahui dan karena itu disebut “dunia baru". Egosentrisme itu juga tampak pada penyebutan ruang (daerah) di kawasan Asia dengan sebutan "Dunia Timur". Daerah-daerah Asia yang dekat dengan benua Eropa disebut dengan Timur Dekat, dan bagi daerah-daerah yang jauh di bagian timur, identik pula dengan negeri Cina dan Jepang, populer dengan sebutan "Timur Jauh". Istilah Hindia Belanda menunjuk pada daerah-daerah di Kepulauan Nusantara (kini indonesia) yang pernah dijajah oieh Belanda.

Pada paruh kedua abad ke-20, dunia tampak terpola dalam dua kutub atau kekuatan besar yang disebut "Timur" dan "Barat". Istilah ini terkait dengan kemelut poiitik dunia pasca Perang Dunia li. Negara-negara yang tergabung dalam Blok Barat menganut ideologi iiberal, sedangkan negara iainnya yang menganut ideology komunisme diidentifikasi sebagai Blok Timur. Asas generaiisasi ini lebih kepada aspek ideologi poiitik dunia, bukan makna kata "Timur" yang menunuk pada kawasan Asia dan ”Barat" untuk menyebut kawasan Eropa pada masa penjelajahan samudera. lstilah ini populer selama Perang Dingin (1945-1991).

Khusus untuk kawasan Asia Tenggara, Cina dan Jepang  enyebutnya sebagai Nan-Yang (Daerah Selatan) atau Lands below the Winds (Tanah di bawah Angin). Pada masa Perang Dunia il, kawasan Asia Tenggara oleh pihak Sekutu (yang dimaksud lnggris, Belanda, dan Perancis) dilihat sebagai kawasan yang terpisah dari india. Hal ini tampak pada penyebutan Futher India dan Achter Indie atau Indocina. Asia Tenggara dalam konteks itu adaiah pinggiran dari peradaban besar Cina dan Jepang serta india. Anthony Reid (1992; 1993a) menggunakan istilah Tanah di bawah Angin dalam studinya tentang Asia Tenggara pada masa Kurun Niaga (1450-1680). Kepulauan Maluku dalam konteks jaringan niaga dikenal dengan Spice Islands (Kepulauan Rempah-Rempah), suatu istilah yang menunjuk pada komoditi andalannya yakni: cengkeh, pala, dan bunga pala, yang kata Fernand Braudel, pernah merajai meja niaga di Eropa di abad itu. Bahkan satu lagi pulau yang terletak paling Selatan jazirah Sulawesi, yakni Selayar yang terkenal dengan komoditi kelapanya oleh Christian G. Heersink (1995) disebuat sebagai "The Green Gold” (emas hijau).

Generalisasi Temporal

Penyimpulan semacam ini terkait erat dengan aspek periodisasi waktu dalam sejarah. Misalnya sebutan Kurun Niaga pada 1450-1680 seperti yang digunakan Anthony Reid dalam menjelaskan sejarah Asia Tenggara. Reid juga menyebut periode ini dengan masa modern awal bagi sejarah Asia Tenggara. Sulawesi Selatan pada abad ke-15-16 oleh beberapa ilmuwan digeneralisasi sebagai periode “Memperebutkan Keunggulan” antara kerajaan-kerajaan lokal atau Zaman (Fajar) Sejarah Sulawesi Selatan (Mattulada 1998). Dalam sejarah Indonesia modern dikenal periode Pergerakan Nasional yang dimulai sejak Iahirnya Budi Utomo (1908)

hingga berakhirnya pendudukan militer Jepang (1945). Periode sesudahnya yakni antara 1945-1949 dikenal dengan Revolusi Fisik, dan seterusnya. Generalisasi temporal dalam sejarah Indonesia juga dibagi berdasarkan tata pemerintahan: Periode Pemerintahan Parlementer (1945-1959) dan demokrasi: Terpimpin (1959-1966) dan Pancasila (1967-1998). Periode sebelum 1966 biasa juga disebut Orde Lama, yang bila mengacu pada bentuk generalisasi personal diwakili oleh tokoh Soekarno, dan periode sesudah 1966 hingga tahun 1998 dikenal sebagai Orde Baru dengan tokoh kucinya Soeharto. Sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru (1998), periode sejarah Indonesia hingga kini disebut Orde Reformasi.

Meskipun telah dikemukakan beberapa generalisasi dan konsep sejarah, namun patut direnungkan kembali kalimat Kuntowijoyo, bahwa daiam mengadakan generalisasi sejarawan tidak boleh Iarut di daiamnya, sehingga karya sejarah tidak empirik. Spesifikasi dalam generalisasi, harus tetap dikedepankan yang dilandasi oleh sumber sejarah.

Sumber : Buku Pengantar Ilmu Sejarah
Oleh :  Abd.Rahman Hamid dan M. Saleh Majid
pengantar ilmu sejarah


No comments:

Post a Comment