Perilaku kelahiran dan kematian berbeda dengan mobilitas penduduk. Angka kelahiran dan kematian pada periode waktu tertentu mempunyai sifat-sifat ajeg (stabil). Sebagai contoh pada tahun 1993 di Indonesia tingkat kelahiran kasar dan tingkat kematian kasar masing-masing besamya 24,1 dan 7,8 per 1000 penduduk pertengahan tahun. Angka-angka ini besarnya tidak berubah sampai akhir tahun 1995. Tetapi untuk mobilitas penduduk tidak ada sifat keteraturan (keajegan) seperti angka kelahiran dan kematian.
Berdasarkan sifat-sifat sepelti tersebut di atas, maka perhitungan proyeksi penduduk tidak mengikutsertakan komponen mobilitas penduduk. Apabila ada yang mengikutsenakan dalam proyeksi penduduk, mereka mengasumsikan volume dan arah mobilitas penduduk di suatu wilayah mengikuti rata-rata dan pola yang teljadi selama beberapa tahun.
Sebelum dibicarakan determinan, proses, dan bentuk-bentuk mobilitas penduduk di Indonesia terlebih dahulu akan dibicarakan pengertian dan ruang lingkup rnobilitas penduduk. Mobilitas penduduk dapat dibedakan antara mobilitas penduduk vertikal dan mobilitas penduduk horizontal. Mobilitas penduduk vertikal sering disebut dengan perubahan status, dan salah satu contohnya adalah perubahan status pekerjaan. Seseorang yang mula-mula bekerja dalam sektor penanian sekarang bekerja dalam sektor non pertanian.
Mobilitas penduduk horizontal, atau sering pula disebut dengan mobilitas penduduk geografis, adalah gerak (movement) penduduk yang melintas batas wilayah rnenuju ke wilayah yang lain dalam periods waktu tertentu (Mantra, 1978). Penggunaan batas wilayah dan waktu untuk indikator mobilitas penduduk horizontal ini mengikuti paradigma ilmu geografi yang mendasarkan konsepnya atas wilayah dan waklu (space and tmie concept). Batas wilayah umumnya digunakan batas administratif, misalnyaz propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, pedukuhan (dusun). Naim (1979) dalam penclitiannya mengenai mobilitas penduduk suku Minangkabau menggunakan batas budaya Minang sebagai batas wilayah.
Hingga kini belum ada kesepakatan di antara para ahli dalam menentukan batas wilayah dan waktu tersebut. Hal mi sangat bergantung kepada luas cakupan wilayah penelitian oleh setiap peneliti. Sebagai contoh, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam melaksanakan Sensus Penduduk di Indonesia menggunakan batas propinsi sebagai batas wilayah, sedangkan batas waktu digunakan enam bulan atau lebih. J adi, menurut definisi yang dibuat oleh BPS, seseorang disebut migran apabila orang tersebut bergerak melintasi batas propinsi menuju ke propinsi Iain, dan lamanya tirlgal di propinsi tujuan adalah enam bulan atau lebih. Atau dapat pula, seseorang disebut migran walau berada di propinsi tujuan kuran dan enam bulan, tetapi orang tersebut bemiat tinggal menetap atau tinggal enam bulan atau lebih di propinsi tujuan.
Mantra (1978) dalam penelitiarmya mengenai mobilitas penduduk nonpermanen di sebuah dukuh di Bantul menggunakan dukuh sebagai satuan wilayah dari batas waktu yang digunakan untuk meninggalkan dukuh asal enam jam atau lebih. Batas enam jam diambil karena seseorang yang bepergian meninggalkan dukuh asal dengan keperluan tertentu dan kepergiannya dipersiapkan terlebih dahulu, dan lamanya meninggalkan dukuh minimal enam Jam. Alasan lain pengambilan batas enam jam ialah untuk menjaring orang-orang yang melakukan mobilitas ulang alik (Jawa = nglaju) atau commuting.
Akibat belum adanya kesepakatan di antara para ahli mobilitas penduduk mengenai ukuran batas wilayah dari waktu mi, hasil penelitian menenai mobilitas penduduk di antara peneliti tidak dapat diperbandingkan. Mengingat bahwa skala penelitian itu bervanasi antara peneliti yang satu dengan peneliti lain, sulit bagi peneliti mobilitas periduduk untuk menggunakan batas wilayah dari waktu yang baku (standan). Misalnya, apabila wilayah penelitian itu desa, tidak mungldn menggunakan batas propinsi sebagai batas wilayah dan meninggalkan daerah asal 6 bulan atau lebih sebagai batas waktu. Jadi, ada baiknya tidak ada batasan baku untuk batas wilayah dan waktu untuk penelitian mobilitas penduduk. Sudah tentu bahwa makin sempit batasan ruang dan waktu yang digunakan, makin banyak terjadi gerak penduduk antara wilayah tersebut.
Kalau dilihat dan ada tidaknya niatan untuk menetap di daerah tujuan, mobilitas penduduk dapat pula dibagi menjadi dua, yaitu mobilitas penduduk permanen atau migrasi dan mobilitas penduduk nonpermanen. Jadi, migrasi adalah gerak penduduk yang melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah lain dengan ada niatan menetap di daerah tujuan. Sebaliknya, mobilitas penduduk nonpermanen ialah gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Apabila seseorang menuju ke daerah lain dan sejak semula sudah bermaksud tidak menetap di daerah tujuan, orang tersebut digolongkan sebagai pelaku mobilitas nonperman walaupun bertempat tinggal di daerah tujuan dalam jangka waktu lama (Steele, 1983). Contoh yang baik dalam hal ini ialah mobilitas penduduk orang Minang yang melintas batas budaya Minangkabau menuju ke daerah lain.
Walaupun berada di daerah tujuan selama epuluhan tahun, mereka dikategorikan sebagai migran nonpermanen karena tidak ada niatan menetap di daerah tujuan. Gerak penduduk orang Minang disebut dengan merantau. Sayangnya, banyak para migran tidak dapat memberikan ketegasan apakah mereka ada niatan menetap di daerah tujuan atau tidak pada saat melakukan mobilitas yang pertama kali. Sering niatan tersebut berubah setelah pelaku mobilitas tinggal di daerah. Pelaku mobilitas penduduk adalah orang yang melakukan mobilitas, sedang mobilitas adalah proses gerak penduduk dari suatu wilayah menuju wilayah lain dalam jangka waktu tertentu, tujuan dalam jangka waktu relatif lama.
Gerak penduduk yang nonpermanen (sirkulasi, circulation) mi dapat pula dibagi menjadi dua yaitu ulang alik (Jawa = nglaju, Inggris = commuting), dan dapat menginap atau mondok di daerah tujuan. Ulang alik adalah gerak penduduk dari daerah asal menuju ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dan kembali ke daerah asal pada han itu juga. Pada umunmya penduduk yang melakukan mobilitas ingin kembali ke daerah asal secepatnya sehmgga kalau dibandingkan frekuensi penduduk yang melakukan mobilitas ulang alik, menginap/mondok, dan migrasi, Hekuensi mobilitas penduduk ulang-alik terbesar disusul oleh menginap/mondok dan migrasi. Secara operasional, macam-macam bentuk mobilitas penduduk tersebut diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Misalnya mobilitas ulang alik, konsep waktunya diukur dengan enam jam atau lebih meninggalkan daerah asal dan kembali pada han yang sama; menginap/mondok diukur dari lamanya meninggalkan daerah asal lebih dari satu han, tetapi kurang dari enam bulan; sedangkan mobilitas permanen diukur dari lamanya meninggalkan daer ah asal enam bulan atau lebih kecuali orang yang sudah sejak semula bemiat menetap di daerah tujuan seperti seorang istri yang berpindah ke tempat tinggal suami (Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Batasan Ruang dan Waktu dalam penelitian Mobilitas Penduduk yang dilaksanakan oleh Ida Bagoes Mantra Tahun 1975 di Dukuh Piring dan Kadiraja di DI. Yogyakarta dengan Batasan Wilayah Dukuh (Dusun) Sumber: Mantra (1978)
-->
No comments:
Post a Comment