H. Demografi
Demografi adalah analisis
terhadap berbagai variabel kependudukan. Di dalamnya tercakup aneka metode perhitungan
dan hasil substantif dalam riset mengenai angka kematian/ mortalitas, angka
kelahiran, migrasi, dan jumlah serta komposisi penduduk. Pengetahuan demografi
sangat penting da|am kaitannya dengan aspek-aspek sosial, politik, dan
sebagainya.
Dalam studi demografi, menurut
Nathan Keyfitz, terdapat dua jenis variabel kependudukan, yaitu: (1) variabel
stok yang bersifat statis dan (2) variabel arus yang bersifat dinamis (Kuper
dan Kuper 2000:219-223). Sumber utama variabel pertama adalah sensus- sensus
nasional. Beberapa informasi yang lazim dikumpulkan dalam sensus adalah usia
dan jenis kelamin serta distribusinya, status dan jenis mata pencaharian, dan
tempat lahir. Sedangkan sumber variabel kedua yang utama adalah registrasi
kelahiran dan kematian. Karakteristik khusus demografi, terletak pada metode-
metode kuantitatif empirik yang digunakannya.
Letak pentingnya studi ini dalam
sejarah ialah bila hendak mengkaji sejarah migrasi penduduk dan perkembangan sosial masyarakat. Misalnya,
pada abad ke-19, seiring dengan perluasan usaha ekonomi, pemerintah Belanda
mengadakan proyek besar-besaran pemindahan penduduk dari jawa ke tanah
seberang. Daerah-daerah yang dituju antara lain ialah Sumatera. Perkembangan
perkebunan gula di sana tidak terlepas dari peran para migran itu, sehinga bila
hendak mengkaji sejarahnya harus didukung oleh pengetahuan dan data demografi
penduduk. Dengan begitu, dapat ditemukan korelasi sistem pertanian antara Jawa
dengan Sumatera.
I. Etnografi
Bila demografi membicarakan
mengenai penduduk secara umum, maka studi etnografi secara khusus melihat pada
kelompok sosial tertentu atau etnis (Etnis dari kata etnos bahasa Yunani yang
berarti masyarakat atau bangsa). Dalam pandangan John Stone, etnisitas adalah
suatu penggolongan dasar dari suatu organisasi sosial yang keanggotaanya
didasarkan pada kesamaan asal, sejarah dan yang dapat meliputi kesamaan budaya,
agama atau bahasa (Kuper dan Kuper
2000:310). Konsep Max Weber tentang etnis pa|ing banyak digunakan. Dalam
Economy and Social, Weber mendefinisikan etnis sebagai kelompok manusia yang
(selain kelompok kesukuan) menghormati pandangan serta memegang kepercayaan
bahwa asal yang sama menjadi alasan untuk menciptakan suatu komunitas tersendiri.
Studi etnografi dalam ilmu-ilmu
sosial, sebagian besar dicurahkan pada kegiatan penelitian atau karya lapangan.
Pada mulanya, etnografi banyak berkutat dengan masalah jarak antara peneliti
dengan yang diteliti. Tulisan-tulisan tentang budaya yang dibuat o|eh para
antropolog pada abad ke-19 tidak didasarkan pada studi kasus yang dilakukannya
sendiri, melainkan dari sumber- sumber lain seperti dokumen, laporan dan
surat-surat dari para penjelajah, anggota ekspedisi ilmiah, misionaris,
petualangan, dan pejabat pemerintah kolonial. Namun sebelum memasuki abad
ke-20, para ethnografer mulai melakukan studi untuk masuk, mengalami sendiri
dan tinggal dalam kurun waktu lama di sebuah dunia sosial yang akan ditulis.
Sebut saja Bronislaw Malinowski, adalah salah seorang ilmuwan yang banyak
mengembangkan pendekatan ini. Dalam konteks tersebut para peneliti dituntut
agar mengenal secara pribadi, akrab dan terus-menerus berhubungan dengan
”segala sesuatu yang diucapkan dan diperbuat penduduk asli" atau lazim dikenal
dengan perspektif emik.
Pada abad ke-19 ketika gerakan
sosial bersifat endemis (bagaikan jamur di musim hujan), Snouck Hurgronjhe
mengadakan studi lapangan mengenai kehidupan masyarakat Nusantara. Pertama kali
studi itu, ditujukan pada masyarakat Nusantara di Mekkah. Mayoritas jamaah haji
di abad itu rnenarik perhatian Hurgronjhe untuk mengetahui rnotivasi utama
mereka berhaji. La|u diteiiti lebih Ianjut korelasinya dengan fenomena
gerakan protes di Nusantara. Tidak cukup
mengetahui kehidupan mereka di sana, Hurgronjhe memutuskan (atas restu parlemen
Belanda) Iangsung ke Nusantara. Datanglah ia ke Aceh dan kemudian ke Jawa.
Hasil studinya menujukkan adanya korelasi antara semangat keagamaan (berhaji)
dengan gerakan protes yang terutama dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat dengan
nama depan atau gelaran haji. Dari studi mendalam itu, ia mengajukan dalil
kepada pemerintah Belanda agar tidak menghalangi masyarakat melakukan kegiatan
yang berorietasi pada ibadah dan sosial budaya, namun tidak boleh diberi ruang
aktivitas politik karena dapat membahayakan kelangsungan pemerintah kolonial.
Kasus Iainnya yang merupakan
salah satu tema aktual sejarah berkaitan erat dengan persoalan etnis ialah
politik rasial di Afrika Selatan pada abad ke-20. Dalam kebijakan politik
kolonial bangsa Barat di sana, penduduk dibedakan atas dasar warna kulit atau
ras. Politik ini lebih dikenal dengan istilah politik apartheid. Bangsa Barat
yang berkulit putih memiliki otoritas politik yang dipaksakan kepada penduduk
pribumi (Afrikaner).
Tanah-tanah yang hendak dikelola
ataupun ditempati oleh Afrikaner diatur dengan ketentuan Land Act 1913. Setiap
warga diwajibkan memiliki tanda pengenal, dan dengan itu ia diperlakukan pula
berbeda sesuai dengan identitasnya. Masih banyak Iagi aturan-aturan Iain yang
pada intinya hendak mengeliminasi penduduk pribumi dari dunia sosial dan
politik di negerinya sendiri, seperti tampak pada kalimat "no equality in
Curch and state" (tidak ada persamaan da|am gereja/agama dan negara) Menurut
aturan ini, Afrikaner hanya diizinkan masuk ke kota-kota yang (Soeratman 1974:168).
Kawasan sosial penduduk pribumi
diatur menurut selera pemerintah kolonial dengan Group Area Act 1923. dipetakan
oleh orang kulit putih apabila mereka mau masuk dan untuk memenuhi kebutuhan
kulit putlh. Tempat mereka dl kota- kota pun terpisah dari white people. Dalam
hal partisipasi politik, semua orang kulit putih memiliki hak pillh, tetapi
tidak untuk Afrikaner yang mayoritas jumlahnya (Pograoun 1993:9).
Diskrimasi rasial itulah yang
melandasi munculnya gerakan nasionalisme yang dipimpln oleh Nelson Mandela.
Bersama rakyatnya, Mandela berjuang untuk menghapuskan politik apartheid. Pada
1994, akhirnya politik ini dapat dihapuskan dengan tampilnya Mandela sebagai
Presiden Afrika Selatan (Mandela 1995).
J. Ilmu Hukum
Konsepsi tentang hukum dalam
kerangka sejarah dan budaya bersifat spesifik. Ketika para sarjana dari tradisi
hukum Eropa Barat mengkaji hukum dan lembaga-lembaga hukum dari kebudayan-
kebudayaan lain, apa yang mereka cari adalah norma-norma dan lembaga-lembaga
yang berbentuk dan berfungsi secara analogi dengan norma dan lembaga yang ada
dalam kebudayaan mereka.
Acapkali hukum diinterpretasikan
sebagai ungkapan dari nilai-nilai budaya,kadang-kadang pula sebagaikerangka
kekuasaanyang dirasionalkan. Menurut Sally Falk Moore, memisahkan keduanya akan
menciptakan yang salah (Kuper dan Kuper 2000:459-554). Studietnografi
menunjukkandemikian.Fungsisistem hukumdalam pemikiran M. Friedman adalah
mendistribusikan dan memelihara alokasi nilai-nilai yang dianggap benar oleh
masyarakat. Alokasi yang dilaukan dengan semangat kebajikan disebut keadilan.
Masyarakat dengan demikian diantropomorfosis sebagai sebuah entitas konsensual
yang memiliki nilai-nilai bersama.
Menarik studi G. J. Resink (1987) mengenai
sejarah politik dan hukum di Nusantara 1850-1910. Dengan pendekatan hukum internasional, Resink mengajikan kepada
pembacanya bahwa masih terdapat kerajaan-kerajaan yang merdeka dalam periode
itu, khususnya di Sumatera dan Indonesia bagian timur Suatu yang menarik dari
studi ini, bila kebanyakan orang selama ini percaya bahwa Indonesia pernah
dijajah oleh Belanda selama lebih kurang 350 tahun, apabila yang dimaksudkan
adalah seluruh kepulauan Indonesia. Resink membuktikan bahwa hal itu tidak
benar.
Beberapa kasus pengadilan yang
diajukan kepada pemerintah Hindia Belanda, namun mereka tidak berhak memberikan
pengadilan karena pelakunya bukan penduduk Hindia Belanda, melainkan ra kyat
dari negeri atau kerajaan-kerajaan yang merdeka. Ketika kasus perdagangan budak
diajukan pada pengadilan koIoniaI di Ujung Pandang, pihak mahkamah kolonal
tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab kasus tersebut (yang sudah dilarang oleh
pemerintah Hindia Belanda sejak abad ke-19) terjadi di wilayah Mandar (sekarang
Propinsi Sulawesi Barat) yang terletak di Iuar wilayah kekuasaan Hindia
Belanda.
Studi hukum internasional yang diiakukan o|eh
Resink ini meruntuhkan pemikiran 350 tahun Indonesia dijajah. Tidak berlebihan
jika Asvi Warman Adam (2004:128-131) menulis dan memberikan predikat padanya
sebagai "Peruntuh Mitos Penjajahan 350 Tahun”.
K. Geografi
Geografi ialah ilmu yang
mempelajari tentang penguraian dan pemahaman atas perbedaan-perbedaan
kewilayahan dalam distrubusi Iokasi di permukaan bumi. Fokusnya ialah pada
sifat dan saling keterkaitan antara Iingkungan, tata ruang, dan tempat. Ilmu
ini Iahir sebagai disiplin akademis yang memiliki potensi terapan untuk
menambah pemahaman mengenai dunia. Nilai terapannya
sangat dihargai selama Perang
Dunia Kedua, karena kemampuan para ahli geografi untuk menyediakan informasi
mengenai negara-negara lain. Keahlian kartografi serta fotogrametrik mereka banyak
dipakai dalam dunia intelijen (Kuper dan Kuper 2000: 403-411).
Persentuhan antara sejarah dan
geografi melahirkan studi geografi sejarah. Pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20, terminologi ini biasa dipakai berkenaan dengan sejarah eskplorasi clan
penemuan, pembuatan peta dunia, dan perubahan batas-batas politik dan
administrasi. Kelahiran geografi sejarah modern bisa dilacak pada 1920-an dan
1930-an. Pada 1960-an, ia telah cukup matang untuk berdiri sendiri sebagai
sebuah ilmu disiplin ilmu, yang tidak hanya berurusan dengan rekonstruksi
keadaan geografis masa lalu, melainkan juga mempeiajari perubahan-perubahan
geografi.
Menurut H. C. Darby dalam sebuah
tulisanya berjudul Historical Geography terdapat empat pendekatan dalam studi geografi
sejarah. Pertama, mengenai keadaan geografi di masa lalu, da|am kaitan ini
ialah perbadingan keadaan geografi suatu daerah secara horizontal di masa lalu.
Kedua, perubahan lanskap yakni terkait dengan tema-tema transformasi yang
bersifat vertikal, seperti pembukaan suatu iahan hutan dan pengeringan rawa.
Ketiga, masa lalu yang dijelaskan dari keadaan geografinya di masa sekarang.
Keempat, sejarah yang bersifat geografis, yakni penyelidikan mengenai pengaruh
kondisi-kondisi geografi (keadaan Iingkungan dan Iokasi) terhadap jalannya
sejarah (Kuper dan Kuper 2000: 437-438).
Geografi yang diramu dengan cara
demikian memiliki karakteristik sebagai sebuah pendekatan yang memakai data sejarah
tetapi dengan masalah dan metode yang bersifat geografis. la menekankan
pemetaan sumber-sumber sejarah dengan maksud untuk menampilkan
perbedaan-perbedaan regional di masa lalu dan perubahan Iandskap selama
periode-periode tertentu.
Sejarawan Annales Perancis, Fernand
Braudel (1972) mengembangkanpendekataninidalamstudisejarah.KawasanLaut Tengah
(Mediteranean) yang menjadi fokus studinya dikemukakan panjang-lebar dan lebih
banyak (halamannya) dibandingkan dengan dua aspek utama Iainnya, yakni
konjungtur dan peristiwa politik. la menjelaskan kondisi dan perubahan iklim di
kawasan itu yang turut mempengaruhi distribusi dan pola produksi dalam kegiatan
perdagangan maritim pada masa pemerintahan Philips II.
Dalam sebuah tulisannya, Adrian
Bernard Lapian (1999:79-92) mencoba menjelaskan pengaruh perubahan geografi
terhadap gerak sejarah. Pada 11 April 1815, terjadi Ietusan gunung Tambora di
Kepulauan Nusa Tenggara. Dari hasil studi, para pakarsependapat bahwa kerusakan
alamiah dan korban akibat Ietusan itu lebih besar dibandingkan Ietusan gunung
Krakatau. Sejumlah 4800 jiwa meninggal
dunia dan 36.275 meninggalkan
Pulau Sumbawa mengungsike pulau-pulau sekitarnya. Singkatnya, Sumbawa pada saat
itu kehilangan 85.000 penduduk. Dua institusi politik local yakni kerajaan
Pekat dan kerajaan Tambora hilang dari muka bumi. Bahkan menurut catatan
sejarah lokal, kapal boleh berlabuh di mana bekas negeri Tambora adanya. Selama
tiga tahun di Sumbawa tidak dapat ditanami padi, sehingga penduduk kelaparan
dan ada yang menjual dirinya pada temannya ditukar sama padi.
Dampak Ietusan itu, turut pula
dirasakan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan. Namun konteksnya berbeda dengan
apa yang dialami oleh penduduk di Sumbawa. Pada malah hari bertepatan dengan
kejadian itu, di Tanah Bugis-Makassar ruang angkasa tampak gelap dengan abu.
Alhasil, produksi beras berlimpah ruah dan jumlah ekspor pun meningkat. Dampak
globalnya juga dapat
dilihat pada kondisi Eropa Barat.
Sejak awal Juni 1815, Eropa dilanda hujan Iebat selama berminggu-minggu, yang
sebenarnya bukan musimnya. Keadaan ini menyulitkan Napoleon Bonaparte, yang
baru lolos dari pengasingannya di Pulau Jawa, untuk bergerak cepat dengan
pasukannya ke Brussel. Akibat hujan itu, jalanan ditutup oleh tumpukan lumpur
sehingga menggangu gerak kereta dan persenjataan pasukan Perancis. Bantuan yang
dibutuhkan Napoleon pun terlambat tiba, dan akibatnya sangat fatal baginya,
kekalahan di Waterloo pada 18 Juni 1815. Perstiwa kekalahan ini telah mengubah
politik dunia, termasuk keadaan poiitik di Kepulauan Nusantara.
di ambil dari buku : PENGANTAR ILMU SEJARAH,
OLEH ABDUL RAHMAN HAMID & MUHAMMAD SALEH MAJID
No comments:
Post a Comment