Saturday, March 9, 2013

ILMU BANTU SEJARAH PART II

H. Demografi
Demografi adalah analisis terhadap berbagai variabel kependudukan. Di dalamnya tercakup aneka metode perhitungan dan hasil substantif dalam riset mengenai angka kematian/ mortalitas, angka kelahiran, migrasi, dan jumlah serta komposisi penduduk. Pengetahuan demografi sangat penting da|am kaitannya dengan aspek-aspek sosial, politik, dan sebagainya.
Dalam studi demografi, menurut Nathan Keyfitz, terdapat dua jenis variabel kependudukan, yaitu: (1) variabel stok yang bersifat statis dan (2) variabel arus yang bersifat dinamis (Kuper dan Kuper 2000:219-223). Sumber utama variabel pertama adalah sensus- sensus nasional. Beberapa informasi yang lazim dikumpulkan dalam sensus adalah usia dan jenis kelamin serta distribusinya, status dan jenis mata pencaharian, dan tempat lahir. Sedangkan sumber variabel kedua yang utama adalah registrasi kelahiran dan kematian. Karakteristik khusus demografi, terletak pada metode- metode kuantitatif empirik yang digunakannya.
Letak pentingnya studi ini dalam sejarah ialah bila hendak mengkaji sejarah migrasi penduduk dan   perkembangan sosial masyarakat. Misalnya, pada abad ke-19, seiring dengan perluasan usaha ekonomi, pemerintah Belanda mengadakan proyek besar-besaran pemindahan penduduk dari jawa ke tanah seberang. Daerah-daerah yang dituju antara lain ialah Sumatera. Perkembangan perkebunan gula di sana tidak terlepas dari peran para migran itu, sehinga bila hendak mengkaji sejarahnya harus didukung oleh pengetahuan dan data demografi penduduk. Dengan begitu, dapat ditemukan korelasi sistem pertanian antara Jawa dengan Sumatera. 

I. Etnografi
Bila demografi membicarakan mengenai penduduk secara umum, maka studi etnografi secara khusus melihat pada kelompok sosial tertentu atau etnis (Etnis dari kata etnos bahasa Yunani yang berarti masyarakat atau bangsa). Dalam pandangan John Stone, etnisitas adalah suatu penggolongan dasar dari suatu organisasi sosial yang keanggotaanya didasarkan pada kesamaan asal, sejarah dan yang dapat meliputi kesamaan budaya, agama  atau bahasa (Kuper dan Kuper 2000:310). Konsep Max Weber tentang etnis pa|ing banyak digunakan. Dalam Economy and Social, Weber mendefinisikan etnis sebagai kelompok manusia yang (selain kelompok kesukuan) menghormati pandangan serta memegang kepercayaan bahwa asal yang sama menjadi alasan untuk menciptakan suatu komunitas tersendiri.
Studi etnografi dalam ilmu-ilmu sosial, sebagian besar dicurahkan pada kegiatan penelitian atau karya lapangan. Pada mulanya, etnografi banyak berkutat dengan masalah jarak antara peneliti dengan yang diteliti. Tulisan-tulisan tentang budaya yang dibuat o|eh para antropolog pada abad ke-19 tidak didasarkan pada studi kasus yang dilakukannya sendiri, melainkan dari sumber- sumber lain seperti dokumen, laporan dan surat-surat dari para penjelajah, anggota ekspedisi ilmiah, misionaris, petualangan, dan pejabat pemerintah kolonial. Namun sebelum memasuki abad ke-20, para ethnografer mulai melakukan studi untuk masuk, mengalami sendiri dan tinggal dalam kurun waktu lama di sebuah dunia sosial yang akan ditulis. Sebut saja Bronislaw Malinowski, adalah salah seorang ilmuwan yang banyak mengembangkan pendekatan ini. Dalam konteks tersebut para peneliti dituntut agar mengenal secara pribadi, akrab dan terus-menerus berhubungan dengan ”segala sesuatu yang diucapkan dan diperbuat penduduk asli" atau lazim dikenal dengan perspektif emik.
Pada abad ke-19 ketika gerakan sosial bersifat endemis (bagaikan jamur di musim hujan), Snouck Hurgronjhe mengadakan studi lapangan mengenai kehidupan masyarakat Nusantara. Pertama kali studi itu, ditujukan pada masyarakat Nusantara di Mekkah. Mayoritas jamaah haji di abad itu rnenarik perhatian Hurgronjhe untuk mengetahui rnotivasi utama mereka berhaji. La|u diteiiti lebih Ianjut korelasinya dengan fenomena gerakan  protes di Nusantara. Tidak cukup mengetahui kehidupan mereka di sana, Hurgronjhe memutuskan (atas restu parlemen Belanda) Iangsung ke Nusantara. Datanglah ia ke Aceh dan kemudian ke Jawa. Hasil studinya menujukkan adanya korelasi antara semangat keagamaan (berhaji) dengan gerakan protes yang terutama dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat dengan nama depan atau gelaran haji. Dari studi mendalam itu, ia mengajukan dalil kepada pemerintah Belanda agar tidak menghalangi masyarakat melakukan kegiatan yang berorietasi pada ibadah dan sosial budaya, namun tidak boleh diberi ruang aktivitas politik karena dapat membahayakan kelangsungan pemerintah kolonial.
Kasus Iainnya yang merupakan salah satu tema aktual sejarah berkaitan erat dengan persoalan etnis ialah politik rasial di Afrika Selatan pada abad ke-20. Dalam kebijakan politik kolonial bangsa Barat di sana, penduduk dibedakan atas dasar warna kulit atau ras. Politik ini lebih dikenal dengan istilah politik apartheid. Bangsa Barat yang berkulit putih memiliki otoritas politik yang dipaksakan kepada penduduk pribumi (Afrikaner).
Tanah-tanah yang hendak dikelola ataupun ditempati oleh Afrikaner diatur dengan ketentuan Land Act 1913. Setiap warga diwajibkan memiliki tanda pengenal, dan dengan itu ia diperlakukan pula berbeda sesuai dengan identitasnya. Masih banyak Iagi aturan-aturan Iain yang pada intinya hendak mengeliminasi penduduk pribumi dari dunia sosial dan politik di negerinya sendiri, seperti tampak pada kalimat "no equality in Curch and state" (tidak ada persamaan da|am gereja/agama dan negara) Menurut aturan ini, Afrikaner hanya diizinkan masuk ke kota-kota yang  (Soeratman 1974:168).
Kawasan sosial penduduk pribumi diatur menurut selera pemerintah kolonial dengan Group Area Act 1923. dipetakan oleh orang kulit putih apabila mereka mau masuk dan untuk memenuhi kebutuhan kulit putlh. Tempat mereka dl kota- kota pun terpisah dari white people. Dalam hal partisipasi politik, semua orang kulit putih memiliki hak pillh, tetapi tidak untuk Afrikaner yang mayoritas jumlahnya (Pograoun 1993:9).
Diskrimasi rasial itulah yang melandasi munculnya gerakan nasionalisme yang dipimpln oleh Nelson Mandela. Bersama rakyatnya, Mandela berjuang untuk menghapuskan politik apartheid. Pada 1994, akhirnya politik ini dapat dihapuskan dengan tampilnya Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan (Mandela 1995). 

J. Ilmu Hukum
Konsepsi tentang hukum dalam kerangka sejarah dan budaya bersifat spesifik. Ketika para sarjana dari tradisi hukum Eropa Barat mengkaji hukum dan lembaga-lembaga hukum dari kebudayan- kebudayaan lain, apa yang mereka cari adalah norma-norma dan lembaga-lembaga yang berbentuk dan berfungsi secara analogi dengan norma dan lembaga yang ada dalam kebudayaan mereka.
Acapkali hukum diinterpretasikan sebagai ungkapan dari nilai-nilai budaya,kadang-kadang pula sebagaikerangka kekuasaanyang dirasionalkan. Menurut Sally Falk Moore, memisahkan keduanya akan menciptakan yang salah (Kuper dan Kuper 2000:459-554). Studietnografi menunjukkandemikian.Fungsisistem hukumdalam pemikiran M. Friedman adalah mendistribusikan dan memelihara alokasi nilai-nilai yang dianggap benar oleh masyarakat. Alokasi yang dilaukan dengan semangat kebajikan disebut keadilan. Masyarakat dengan demikian diantropomorfosis sebagai sebuah entitas konsensual yang memiliki nilai-nilai bersama.
 Menarik studi G. J. Resink (1987) mengenai sejarah politik dan hukum di Nusantara 1850-1910. Dengan pendekatan hukum  internasional, Resink mengajikan kepada pembacanya bahwa masih terdapat kerajaan-kerajaan yang merdeka dalam periode itu, khususnya di Sumatera dan Indonesia bagian timur Suatu yang menarik dari studi ini, bila kebanyakan orang selama ini percaya bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda selama lebih kurang 350 tahun, apabila yang dimaksudkan adalah seluruh kepulauan Indonesia. Resink membuktikan bahwa hal itu tidak benar.
Beberapa kasus pengadilan yang diajukan kepada pemerintah Hindia Belanda, namun mereka tidak berhak memberikan pengadilan karena pelakunya bukan penduduk Hindia Belanda, melainkan ra kyat dari negeri atau kerajaan-kerajaan yang merdeka. Ketika kasus perdagangan budak diajukan pada pengadilan koIoniaI di Ujung Pandang, pihak mahkamah kolonal tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab kasus tersebut (yang sudah dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda sejak abad ke-19) terjadi di wilayah Mandar (sekarang Propinsi Sulawesi Barat) yang terletak di Iuar wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
 Studi hukum internasional yang diiakukan o|eh Resink ini meruntuhkan pemikiran 350 tahun Indonesia dijajah. Tidak berlebihan jika Asvi Warman Adam (2004:128-131) menulis dan memberikan predikat padanya sebagai "Peruntuh Mitos Penjajahan 350 Tahun”. 


K. Geografi
Geografi ialah ilmu yang mempelajari tentang penguraian dan pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam distrubusi Iokasi di permukaan bumi. Fokusnya ialah pada sifat dan saling keterkaitan antara Iingkungan, tata ruang, dan tempat. Ilmu ini Iahir sebagai disiplin akademis yang memiliki potensi terapan untuk menambah pemahaman mengenai dunia. Nilai terapannya 
sangat dihargai selama Perang Dunia Kedua, karena kemampuan para ahli geografi untuk menyediakan informasi mengenai negara-negara lain. Keahlian kartografi serta fotogrametrik mereka banyak dipakai dalam dunia intelijen (Kuper dan Kuper 2000: 403-411).
Persentuhan antara sejarah dan geografi melahirkan studi geografi sejarah. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, terminologi ini biasa dipakai berkenaan dengan sejarah eskplorasi clan penemuan, pembuatan peta dunia, dan perubahan batas-batas politik dan administrasi. Kelahiran geografi sejarah modern bisa dilacak pada 1920-an dan 1930-an. Pada 1960-an, ia telah cukup matang untuk berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu disiplin ilmu, yang tidak hanya berurusan dengan rekonstruksi keadaan geografis masa lalu, melainkan juga mempeiajari perubahan-perubahan geografi.

Menurut H. C. Darby dalam sebuah tulisanya berjudul Historical Geography terdapat empat pendekatan dalam studi geografi sejarah. Pertama, mengenai keadaan geografi di masa lalu, da|am kaitan ini ialah perbadingan keadaan geografi suatu daerah secara horizontal di masa lalu. Kedua, perubahan lanskap yakni terkait dengan tema-tema transformasi yang bersifat vertikal, seperti pembukaan suatu iahan hutan dan pengeringan rawa. Ketiga, masa lalu yang dijelaskan dari keadaan geografinya di masa sekarang. Keempat, sejarah yang bersifat geografis, yakni penyelidikan mengenai pengaruh kondisi-kondisi geografi (keadaan Iingkungan dan Iokasi) terhadap jalannya sejarah (Kuper dan Kuper 2000: 437-438).

Geografi yang diramu dengan cara demikian memiliki karakteristik sebagai sebuah pendekatan yang memakai data sejarah tetapi dengan masalah dan metode yang bersifat geografis. la menekankan pemetaan sumber-sumber sejarah dengan maksud untuk menampilkan perbedaan-perbedaan regional di masa lalu dan perubahan Iandskap selama periode-periode tertentu.
Sejarawan Annales Perancis, Fernand Braudel (1972) mengembangkanpendekataninidalamstudisejarah.KawasanLaut Tengah (Mediteranean) yang menjadi fokus studinya dikemukakan panjang-lebar dan lebih banyak (halamannya) dibandingkan dengan dua aspek utama Iainnya, yakni konjungtur dan peristiwa politik. la menjelaskan kondisi dan perubahan iklim di kawasan itu yang turut mempengaruhi distribusi dan pola produksi dalam kegiatan perdagangan maritim pada masa pemerintahan Philips II.

Dalam sebuah tulisannya, Adrian Bernard Lapian (1999:79-92) mencoba menjelaskan pengaruh perubahan geografi terhadap gerak sejarah. Pada 11 April 1815, terjadi Ietusan gunung Tambora di Kepulauan Nusa Tenggara. Dari hasil studi, para pakarsependapat bahwa kerusakan alamiah dan korban akibat Ietusan itu lebih besar dibandingkan Ietusan gunung Krakatau. Sejumlah 4800 jiwa meninggal
dunia dan 36.275 meninggalkan Pulau Sumbawa mengungsike pulau-pulau sekitarnya. Singkatnya, Sumbawa pada saat itu kehilangan 85.000 penduduk. Dua institusi politik local yakni kerajaan Pekat dan kerajaan Tambora hilang dari muka bumi. Bahkan menurut catatan sejarah lokal, kapal boleh berlabuh di mana bekas negeri Tambora adanya. Selama tiga tahun di Sumbawa tidak dapat ditanami padi, sehingga penduduk kelaparan dan ada yang menjual dirinya pada temannya ditukar sama padi.

Dampak Ietusan itu, turut pula dirasakan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan. Namun konteksnya berbeda dengan apa yang dialami oleh penduduk di Sumbawa. Pada malah hari bertepatan dengan kejadian itu, di Tanah Bugis-Makassar ruang angkasa tampak gelap dengan abu. Alhasil, produksi beras berlimpah ruah dan jumlah ekspor pun meningkat. Dampak globalnya juga dapat

dilihat pada kondisi Eropa Barat. Sejak awal Juni 1815, Eropa dilanda hujan Iebat selama berminggu-minggu, yang sebenarnya bukan musimnya. Keadaan ini menyulitkan Napoleon Bonaparte, yang baru lolos dari pengasingannya di Pulau Jawa, untuk bergerak cepat dengan pasukannya ke Brussel. Akibat hujan itu, jalanan ditutup oleh tumpukan lumpur sehingga menggangu gerak kereta dan persenjataan pasukan Perancis. Bantuan yang dibutuhkan Napoleon pun terlambat tiba, dan akibatnya sangat fatal baginya, kekalahan di Waterloo pada 18 Juni 1815. Perstiwa kekalahan ini telah mengubah politik dunia, termasuk keadaan poiitik di Kepulauan Nusantara.  



PENGANTAR ILMU SEJARAH,   OLEH ABDUL RAHMAN HAMID & MUHAMMAD SALEH MAJID
di ambil dari buku : PENGANTAR ILMU SEJARAH, 
OLEH ABDUL RAHMAN HAMID & MUHAMMAD SALEH MAJID




-->

No comments:

Post a Comment