Perjanjian internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur perjanjian internasional yang lengkap dan dibuat) melalui tiga tahap, yaitu tahap perundingan, tahap penandatanganan, dan tahap ratifikasi.
1. Perundingan (Negotiation)
Tahapan ini merupakan suatu penjajakan (atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Dalam perundingan intemasional ini negara dapat diwakili oleh pejabat negara dengan membawa surat kuasa penuh (full powers/credentials), kecuali apabila dari semula peserta perundingan sudah menentukan bahwa full power tidak diperlukan. Pejabat negara yang dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan tanpa membawa full powers adalah kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri), menteri luar negeri, dan duta besar. Keempat pejabat tersebut dianggap sudah sah mewakili negaranya karena jabatan yang disandangnya.
Perundingan dalam rangka perjanjian intemasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) disebut pembicaraan (talk), perundingan yang dilakukan dalam rangka perjanjian multilateral disebut konferensi diplomati (diplomatik conference). Selain secara resmi terdapat juga perundingan yang tidak resml, perundingan ini disebut corridor talk.
Hukum internasional dalam “tahap perundingan atau negosiasi, memberi peluang kepada seseorang tanpa full powersuntuk dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan internaaional. Seseorang tanpa full powers yang ikut dalam perundingan internasional ini akan dianggap sah, apabila tindakan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang pada Negara yang bersangkutan. Pihak yang bervvenang tersebut adalah kepala negara dan/atau kepala pemerintahan (presiden, raja/perdana menteri). Apabila tidak ada pengesahan, maka tindakan orang tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.
2. Tahap Penandatanganan (Signature)
Tahap penandatanganan merupakan proses lebih lanjut dari tahap perundingan. Tahap ini diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the text). Penerimaan naskah (adoption of the text) yaitu tindakan perwakilan negara dalam Qerundingan internasional untuk menerima isi dari perjanjian nasional. Dalam perjanjian bilateral, kedua perwakilan negara harus menyetujui penerimaan naskah perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian multilateral, bila tidak diatur secara khusus dalam isi perjanjian, maka berlaku ketentuan menurut konferensi Vienna tahun 1968 mengenai hukum internasional. Penerimaan naskah ini dapat dilakukan apabila disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga peserta konferensi.
Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) dilakukan oleh para penrwakilan Negara yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian bilateral maupun multilateral pengesahan naskah dapat dilakukan para perwakilan negara dengan cara melakukan penandatanganan yaitu penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf (initial). Pengesahan bunyi naskah adalah tindakan formal untuk menerima bunyi naskah perjanjian.
Penandatanganan dilakukan oleh menteri Iuar negeri (Menlu) atau kepala pemerintahan. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatangan, persetujuan untuk mengikat diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
3. Tahap Ratifikasi (Ratification)
Pengesahan atau ratifikasi adalah persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu perjanjian' yang berlaku bagi masing-masing negara tersebut. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah diiakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang telah disepakati oleh para pihak.
Setelah penandatanganan naskah perjanjian intemasional dilakukan oleh para wakil Negara peserta perundingan, maka selanjutnya naskah perjanjian tersebut dibawa pulang ke negaranya masing-masing untuk dipelajari dengan saksama untuk menjawab pertanyaan, yaitu apakah isi perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan kepentingan nasional atau belum dan apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh melampaui batas wewenangnya atau tidak. Apabila memang ternyata isi dalam perjanjian tersebut sudah sesuai, maka negara yang bersangkutan tersebut akan meratitikasi untuk menguatkan atau mengesahkan perjanjian yang ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa tersebut.
Ratiiikasi bertujuan memberi kesempatan kepada negara peserta perjanjian internasional untuk mengadakan peninjauan _dan pengkajian secara saksama apakah negaranya dapat diikat suatu perjanjian internasional atau tidak. Ratifikasi perjanjian internasional dibedakan menjadi tiga. Hal ini untuk mengetahui siapakah yang berwenang meratifikasi suatu naskah perjanjian internasional di negara tersebut. Ketiga sistem ratifikasi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Sistem ratihkasi oleh badan eksekutif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Misalnya saja pada pemerintahan otoriter seperti NAZI.
b. Sistem ratinkasi oleh badan Iegislatif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh badan Iegislatif. Misalnya adalah Honduras, Turki, dan Elsavador.
c. Sistem ratifikasi campuran (badan eksekutif dan Iegislatif), yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila badan eksekutif dan iegislatif sama-sama menentukan proses ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat, Prancis, dan Indonesia.
Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran iembaga eksekutif dan Iegisiatif dalam meratinkasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, ratiiikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-sama terhadap perjanjian intemasionai. Ratitikasi dengan keputusan presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratiikasi di Indonesia, terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pasai 11 Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan presiden, di antaranya yaitu perjanjian induk yang berkaitan dengan kerja sama di bidang, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak berganda dan kerja sama perlindungan penanaman modal.
Ratifikasi meialui undang-undang dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyangkut materi-materi di bawah ini.
a. Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI.
c. Kedauiatan atau hak berdaulat negara.
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e.. Pembentukan kaidah hukum baru.
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
No comments:
Post a Comment